Bagi saya, anak adalah tanggung jawab yang begitu besar. Bahkan saya lebih ‘sibuk’ memikirkan keputusan untuk memiliki anak, ketimbang menikahi bapaknya. Sejak beberapa tahun yang lalu, saat pertama kali saya membaca tulisan Tetsuko Kuroyanagi tentang perjalanan beliau mengelilingi dunia untuk bertemu anak-anak dari setiap negara serta pengalaman saya mengunjungi salah satu panti asuhan di sudut kota Bandung, saya benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan tentang nasib masa depan anak saya kelak. Semoga Tuhan selalu bersama saya saat membesarkannya, aamiin.
—
Beberapa waktu yang lalu saya menonton salah satu film dokumenter yang menceritakan kasus bullying atau perundungan yang terjadi di sekolah-sekolah Amerika. Film ini menunjukkan liputan mereka secara diam-diam atas kasus-kasus perundungan yang terjadi beberapa sekolah, bahkan pada beberapa kasus, ada anak-anak yang memutuskan untuk bunuh diri karena tidak tahan menjadi korban perundungan. Mengerikan. Saya tidak mampu membayangkan bagaimana perasaan orangtua korban perundungan. Menangis pun, anaknya tak kan pernah hidup lagi. Tapi ada hal yang lebih menakuti bagi saya. Bagaimana jika ternyata pelaku perundungan tersebut. Mungkin hidup saya akan tidak sama tenangnya dengan hidup orangtua korban. Saya mungkin akan menyesal seumur hidup karena tak mampu mendidik anak yang lahir dari rahim saya dengan baik, tak mampu membawa dia menjadi orang yang mengasihi orang lain.
Dan kemarin, lini masa saya dihebohkan sebuah berita tentang seorang anak lelaki yang berumur 13 tahun yang membawa mobil dan menyebabkan tabrakan hingga 6 orang meninggal. Hal pertama yang terlintas di kepala saya adalah sebuah kesedihan. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dia alami dari umurnya 0 tahun hingga menginjak 13 tahun. Pendidikan macam apa yang diberikan orangtuanya, hingga mengizinkan anak berumur 13 tahun mengendarai mobil, sendirian, dan pada waktu tengah malam pula. Walaupun dia adalah tersangka yang menyebabkan 6 orang meninggal, tetapi bagi saya dia juga adalah korban. Korban akibat pendidikan yang gagal yang diberikan orangtuanya kepada saya. Korban akibat orangtuanya tak tahu apa yang baik bagi anak itu.
Saya makin merasa ngilu.
Saya selalu mengingat-ingat sebuah tulisan Ki Hadjar Dewantara, bahwa (ringkasnya) anak-anak itu -bahkan pada saat di rahim- sudah memiliki sifat baik dan buruk. Mereka bagaikan sebuah buku yang sudah penuh tulisan baik dan tulisan buruk. Tapi pada saat mereka terlahir, pendidikan -tidak hanya di sekolah- di linkungannya lah yang akan menguatkan salah satu sifat tersebut. Karena hakikatnya setiap manusia pasti memiliki sifat baik dan buruk, hanya pendidikanlah yang akan membuat menonjol salah satu sifat tersebut.
Memiliki anak adalah sebuah pilihan. Tetapi dia (anak tersebut) sebenarnya juga memiliki hak, yaitu mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya jika dia dilahirkan di dunia ini. Pendidikan yang bisa menjadikan dia manusia yang sesuai dengan norma-norma kehidupan. Mereka bukanlah sekedar makhluk lucu yang membahagiakan kita, tapi mereka bernyawa, hidup, dan juga membutuhkan penghidupan yang mampu memanusiakan mereka. Maka sebelum memutuskan untuk memilikinya, pikirlah baik-baik apa saja yang terbaik bagi mereka -bukan hanya menurut kita-.
Karena seperti kata Khalil Gibran, ‘Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan.’
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar