10 Oktober 2012
Jadi begini. Ntah mengapa beberapa hari ini saya terus-terusan memikirkanmu, tidak secara spesifik memikirkanmu, karena saya benar-benar tidak tahu siapa kamu, dimana kamu, dan sedang apa kamu (for reader’s information, saya sedang tidak menyanyikan lagu Kangen Band, sungguh). Yang pasti saya benar-benar clueless tentang kamu, karena itu saya sedikit berdebar-debar jika membayangkan tentangmu.
Saya membayangkan, jika suatu saat kita, ehm, -sebut saja bertemu karena memang sudah takdirNya yang membawa kita berdua untuk bertemu- apakah saya sudah benar-benar siap untuk bertemu dengan kamu (dan begitu juga kamu), kemudian -dengan sedikit geli saya harus mengatakan- menjalin cinta dan kasih yang juga sudah ditakdirkanNya kepada kita berdua.
Kamu, mungkin saja lelaki yang sudah saya kenal sejak lama tapi tak pernah saya perhatikan dengan seksama. Atau bisa saja salah satu dari sahabat-sahabat lelaki (gila) saya saat ini -tapi sungguh semoga tidak. Atau kamu adalah musuh politik saya sewaktu menjadi aktivis kampus. Atau mungkin kamu adalah lelaki yang pernah membaca buku yang sama di sebuah toko buku yang saya dan kamu kunjungi. Atau malah bisa jadi kita tak pernah mengenal sama sekali, tak pernah berada di ruang dan waktu yang sama (bisa saja saya di Selatan dan kamu di Utara di arah mata angin milik kita berdua) tapi Tuhan mengikat kita dengan seutas benang merah yang tak pernah kita ketahui.
Kamu biasa siapa saja. Dan saya tidak akan pernah tahu sampai kita benar-benar bertemu, kemudian kamu datang ke ayah saya dengan segala keberanian yang kamu miliki.
Jika saya egois, tentu saya akan berdoa pada Tuhan bahwa kamu harus berambut gondrong, hitam manis, rapih dengan kemeja dan celana jeansmu, lalu rokok Gudang Garam, dan tidak ketinggalan motor Tiger merahmu. Tapi saya tidak hanya ingin satu-dua hari bersamamu, saya ingin berhari-hari menghabiskan hidup denganmu. Karena saya rasa semua kriteria yang saya sebutkan di atas, saya tak yakin bisa membawa kamu, saya, dan anak-anak kita ke surga. Tapi saya janji, saya akan selalu berdoa semoga kamu bisa menjadi imam yang baik bagi saya dan ayah yang amanah bagi anak-anak kita kelak.
Karena hidup saya nantipun, tidak akan jadi hidup saya sendiri lagi. Hidup saya akan jadi bagian hidupmu, dan begitu sebaliknya. Dan hidup kita akan menjadi hidup anak-anak kita kelak, karena hidup mereka adalah bagian dari hidup kita.
Saya tahu terlalu picisan saya menuliskan ini untuk kamu yang bahkan ntah siapa. Tapi sungguh saya tidak tahu lagi harus berbuat apa (selain berdoa dan mengadu padaNya). Anggap saja ini bentuk ke(tidak)sabaran saya menunggu makin didekatkannya benang-benang penghubung kita berdua oleh-Nya.
Untuk kamu -yang bisa siapa saja-, selamat malam (sungguh semoga segera kita berada pada dimensi -ruang dan waktu- yang sama, aamiin).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar