Setahun yang lalu, saya bercita-cita kembali, ‘harus banget nikah tahun 2012’. Alasannya? Saya mau punya temen hidup satu visi-dan-misi yang mampu menemani saya untuk mencapai mimpi-mimpi saya, dan tentunya menjaga ‘segala’ yang telah saya miliki saat ini, termasuk stabilitas iman. Suami itu menurut saya, adalah orang yang paling tepat (setelah ibu) yang mampu menjaga stabilitas iman yang sering naik-turun. Apalagi, kehidupan pasca-kuliah itu, mengerikan (kata orang-orang), yang pasti kita kehilangan teman-teman dekat yang dulu selalu ‘menjaga’ kita dengan aman. Belum lagi, bagi saya, pasca-kuliah itu, pencarian jati diri yang sesungguhnya dimulai, idealisme-idealisme masa menjadi mahasiswa dulu mulai diuji kesungguhannya, istiqomah atau tidak diri kita ini atas apa yang sudah dibangun dulu. And, for sure, we need life-long-partner to remind us, walking beside us, together and forever.
Setelah mengobrol banyak dengan beberapa orang tentang menikah. Saya menarik kesimpulan bagi saya sendiri, menikah itu adalah keberuntungan, dimana kesiapan bertemu dengan kesempatan, dan keberuntungan itu yang kita buat sendiri. Menikah itu bukan lagi jadi sekedar kebutuhan, dimana kita butuh life-long-partner hanya sekedar untuk mengingatkan kita bangun pagi, ngingetin tahajud, shalat, puasa, ngaji, dan berlaku baik-baik, menikah tidak sesederhana itu.
Kitalah, diri kita sendiri yang seharusnya bisa konsisten untuk melakukan itu semua. Saya tidak ingin menikah untuk berubah jadi lebih baik, dan saya juga nggak kepingin memperbaiki diri agar bisa menikah. Saya mau jadi manusia yang baik -sesuai dengan keinginan Tuhan saya- yah untuk diri saya sendiri, bukan untuk siapa-siapa dan bukan untuk apa-apa.
Tahun lalu saya merasa bersalah sekali dengan diri saya, dan sulit sekali memaafkannya. Dan (bodohnya) saya pikir dengan menikah bisa menyelesaikan masalah saya. Karena, saya tidak akan galau lagi. Karena saya punya temen ngobrol sepanjang malam. Karena saya akan mencari orang yang juga gemar membaca buku, biar saya punya teman diskusi sepanjang waktu. Tapi bukan itu, point-nya ternyata. Kak Kaca mengingatkan saya, dia bilang, ‘Kalau kamu belum ‘selesai’ dengan dirimu sendiri. Bagaimana mungkin menambahkan orang lain, Dek.’ That’s the point. Dan saya tersadar, benar-benar tersadar. Saya harus selesai urusan dengan diri saya sendiri. Saya tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.
Menikah juga buka perlombaan. Waktu saya tahu sahabat baik saya menikah tahun lalu, ada perasaan ‘gue juga mauuu tahun ini’. Tahun ini bahkan, orang-orang terdekat saya malah mulai menikah satu-per-satu. Takut ditinggal? Pasti! Mungkin kalau di arena balap, kita boleh saling mendahului. Dan menikah tidak terjadi di arena balapan. Ini masalah nikah! Masalah menghabiskan sisa 2/3 umur kita, dan jangan sampai gelap mata karena liat orang lain bisa duluan, lalu kamu jadi tergesa-gesa dan ingin mendahului. Karena setiap orang, sudah punya takdirnya masing-masing, and the importan things that you must remember is, you’ll have your own fate. Your prince charming, will come at the right time and with right reason.
Saya selalu berangan-angan, life-long-partner saya ini seperti apa sih nantinya. Setiap perempuan (begitu juga laki-laki) pasti punya ‘checklists’-nya sendiri. Ada yang ingin ganteng, tinggi, jago basket (anak SMA banget ini, haha), mantan aktivis kampus, atau hobi baca buku. Tapi, kamu yakin, orang-orang yang sesuai dengan checklist ini adalah yang tepat bagi kamu? Kadang mereka yang dikirimkan oleh Tuhan -dan berbeda jauh dengan ‘checklists’ milik kamu ini- adalah yang paling tepat kamu. God always knows what you need, guys. Tapi walau, Tuhan Maha Baik dan Maha Tahu Segalanya atas kebutuhan kita. Saya percaya Dia tidak egois, Dia adalah tempat curahan terbaik. Dia tahu, tapi Dia menunggu. Dia tahu yang terbaik buat kita, tapi Dia menunggu kita untuk memohon agar makin meyakinkan Dia bahwa kita percaya dengan pilihan terbaiknya. Dan doa akan selalu jadi kuncinya.
Saya ga tau, prince charming saya ini datang kapan. Hari ini, besok, bulan depan, tahun depan, atau tiga tahun lagi. Kayak saya bilang di atas, menikah itu salah satu bentuk keberuntungan, dia datang saat kesiapan bertemu dengan kesempatan. Jadi saya cuman butuh siap-siap (dan tidak berhenti berdoa), jika nanti kalau kesempatannya udah datang, i can face it!
‘Getting married isn’t going to solve our inabilities to wake up for Fajr or get up for qiyam. We need to develop our own selves without expecting marriage to somehow magically change our lives. Marriage can be a great tool of self-improvement and can help us change for the best, with Allah’s will. Marriage is amongst the greatest blessings that Allah (swt) can bestow on a person; and the creation of a family, and taking care of that family, is amongst the greatest acts of worship. But if we are not personally working on ourselves now, how can we expect that it will be easier with the additional baggage of another individual who is also imperfect?’ - Maryam Amirebrahimi
Terimakasih yang merelakan waktunya untuk membaca tulisan ini, selamat pagi dan semoga kebaikkan selalu bersama dengan kita! Aamiin!
2 komentar:
Kalo dari semua yang pernah gw pahami soal menikah nay, justru kita harus membaikkan diri kita sendiri dan mempunyai pemahaman yang kokoh tentang menikah. Teralami oleh diri sendiri, saat gw membaikkan diri, datang seorang yang terpilih untuk nemenin gw 50-60 tahun k depan. Sifat bisa beda, tapi pemahaman kami sama, baik tentang agama, hidup, soal menikah juga. Dan gw bersyukur, karena kalo gw tidak memutuskan untuk membaikkan diri di kala itu, mungkin saya tidak akan diketemukan dengannya. Jadi kalo kata gw, g ada salahnya membaikkan diri kalo ingin medapat jodoh yang lebih baik juga. "lelaki yang baik untuk perempuan yang baik, dan sebaliknya." Wallahualam..
selalu so sweet tulisan nya...salut
Posting Komentar