Sebenarnya saat saya
bilang sekolah jangan kebayang, bahwa sekolah yang saya ceritakan di sini,
adalah sebuah bangunan besar dengan banyak murid di dalamnya dan fasilitas
lengkap. Sekolah yang saya maksud disini cukup terisi dengan kamu (sebagai
guru) dan anak (atau anak-anak) muridmu dan terjadi proses-belajar-mengajar.
Sedikit cerita
tentang latar belakang kenapa perlu kita membangun sekolah milik kita
masing-masing, beberapa belas tahun yang lalu, mahasiswa di almamater saya
menempati kost-kost-an yang berada di lingkungan warga. Mungkin, karena kami
'dianggap' manusia pintar, warga-warga disekitar tempat mahasiswa tinggal,
tidak segan menitipkan anaknya untuk dididik pendidikan tambahan di luar
sekolah kepada kakak-kakak tingkat saya.
Apalagi, kebanyakan
mahasiswa di almamater saya menempati kost-kostan di lingkungan keluarga
menengah ke bawah yang anak-anaknya pendidikan di sekolahnya belum cukup,
kemudian orangtua tidak sempat atau tidak bisa menemani proses belajar sepulang
dari sekolah, tetapi tidak punya uang lebih untuk membayar les tambahan.
Sayangnya aktivitas
ini, seiring tahun makin menurun, hingga tiba pada masa saya, benar-benar tidak
ada lagi mahasiswa yang mau mengajari adik-adik dilingkungan sekitarnya secara
sukarela (kalaupun ada mungkin bisa di hitung satu tangan, paling satu-dua orang).
Kalo dari pengalaman yang saya liat, hal ini diakibatkan meningkatnya aktivitas
akademis di lingkungan kampus, serta adanya keseganan bagi mahasiswa untuk
berbaur dengan masyarakat lingkungan sekitar.
Padahal, knyatanya
bahwa mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat itu pula. Sudah seharusnya
kita berpartisipasi aktif melebur dan menyatu dengan lingkungan tempat kita
tinggal.
Belum lagi,
kacau-balau dan carut-marutnya sistem pendidikan di negara kita, sudah
seharusnya (lagi) kita berpartisipasi membantu kerja pemerintah untuk
menanggulangi bobroknya pendidikan Indonesia. Daripada mahasiswa, melakukan
demo meneriakki sedikitnya jumlah APBN untuk bagian pendidikan, alangkah lebih
baiknya kita, membantu menjadi guru-sukarela untuk adik-adik yang masih belum
mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya.
Nah, dengan
latar-belakang itu-lah, saya bersama dua teman baik saya Sri Suryani dan Robbi
Zidna Ilman, yang kebetulan mereka sudah memiliki hubungan baik dengan suatu
daerah di dekat lingkungan kampus, menawarkan diri kami untuk membimbing
adik-adik di daerah tersebut untuk mendapatkan pelajaran tambahan.
Hal ini tidak
mendadak dilakukan, tetapi dengan investigasi dan pendekatan yang cukup memakan
waktu, karena kami sadar bahwa yang akan kami bimbing ke depannya adalah anak
orang, bukan anak kami. Sehingga, alangkah lebih baiknya, kalo kami menjalin
hubungan baik dengan keluarga anak-anak tersebut lebih dulu, sehingga bisa
mengantongi 'kepercayaan dari mereka'.
Apalagi pada saat
itu si ibu RW sempat curhat seperti ini, 'Dulu
waktu tahun 90-an, biasanya kalo malem, anak-anak di RW sini dateng ke kostan
mahasiswa sambil teriak-teriak, 'Om.. Om.. Mau belajar, Om!'. Terus dia
bilang, 'Sayang sekarang udah ga ada lagi...'
Karena, sudah
pedekate cukup lama dengan 'Ketua Setempat' yah bisa kepala RT, atau kepala
RW-nya, atau siapapun yang dituakan di daerah tersebut serta warga sekitar,
kami akhirnya dizinkan belajar-mengajar di daerah tersebut, kami juga di
pinjamkan masjid untuk dibiarkan melakukan proses belajar-mengajar. Hal itu
sudah berlangsung sejak November 2011, alhamdulillah hingga saat ini proses
belajar mengajar masih berlangsung hingga sekarang.
Selain rumah belajar
di daerah sekitar kampus. Saya dan teman-teman dari SKHOLE, juga membangun
rumah belajar di salah satu panti asuhan di kota Bandung, di daerah
Ciumbeleuit. Prosesnya yang dilakukan sama dengan cerita di atas. Kami
mendatangi Kepala Pimpinan Panti Asuhan tersebut, dan menanyakan masalah yang
dihadapi adik-adik di sana. Dan ternyata sama saja, adik-adik masih kesulitan
menerima pelajaran di sekolah, salah satu faktornya adalah karena terjadi
'shock culture'. Asal mereka dari kota terpencil, agak kesulitan menangkap
materi yang ternyata terjadi perbedaan antara kurikulum di kota besar dan kota
pedalaman (daerah). Lucu yah. Karena itu, mereka (pihak panti) sangat senang
waktu kami menginisiasi diadakan kelas belajar di sana agar bisa meningkatkan
motivasi semangat belajar adik-adik di sana.
Selain belajar
materi sekolah, kami juga sempat memperkenalkan keilmuan yang ada di kampus
kami kepada mereka, agar memotivasi tujuan masa depan mereka, agar mereka tahu
bahwa ilmu di dunia ini begitu luas dan banyak. Agar mata mereka terbuka luas
tentang bidang keilmuan.
Kami juga sempat
membuat kurikulum sendiri, walau belum teraplikasikan dengan baik. Gunanya dari
pembuatan kurikulum ini sendiri adalah, agar suatu saat nanti, sistem
pendidikan yang kacau balau ini dapat terbenahi dengan gagasan-gagasan baru
dari kami. Kalau bisa saya bilang, sekolah-sekolah atau rumah-rumah belajar
yang kami bangun ini adalah suatu bentuk demo dari rakyat (khususnya mahasiswa)
kepada pemerintah atas carut-marutnya sistem pendidikan negara ini.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar