Membangun Pendidikan Indonesia #2


Sebenarnya saat saya bilang sekolah jangan kebayang, bahwa sekolah yang saya ceritakan di sini, adalah sebuah bangunan besar dengan banyak murid di dalamnya dan fasilitas lengkap. Sekolah yang saya maksud disini cukup terisi dengan kamu (sebagai guru) dan anak (atau anak-anak) muridmu dan terjadi proses-belajar-mengajar.

Sedikit cerita tentang latar belakang kenapa perlu kita membangun sekolah milik kita masing-masing, beberapa belas tahun yang lalu, mahasiswa di almamater saya menempati kost-kost-an yang berada di lingkungan warga. Mungkin, karena kami 'dianggap' manusia pintar, warga-warga disekitar tempat mahasiswa tinggal, tidak segan menitipkan anaknya untuk dididik pendidikan tambahan di luar sekolah kepada kakak-kakak tingkat saya.

Apalagi, kebanyakan mahasiswa di almamater saya menempati kost-kostan di lingkungan keluarga menengah ke bawah yang anak-anaknya pendidikan di sekolahnya belum cukup, kemudian orangtua tidak sempat atau tidak bisa menemani proses belajar sepulang dari sekolah, tetapi tidak punya uang lebih untuk membayar les tambahan.

Sayangnya aktivitas ini, seiring tahun makin menurun, hingga tiba pada masa saya, benar-benar tidak ada lagi mahasiswa yang mau mengajari adik-adik dilingkungan sekitarnya secara sukarela (kalaupun ada mungkin bisa di hitung satu tangan, paling satu-dua orang). Kalo dari pengalaman yang saya liat, hal ini diakibatkan meningkatnya aktivitas akademis di lingkungan kampus, serta adanya keseganan bagi mahasiswa untuk berbaur dengan masyarakat lingkungan sekitar.

Padahal, knyatanya bahwa mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat itu pula. Sudah seharusnya kita berpartisipasi aktif melebur dan menyatu dengan lingkungan tempat kita tinggal.

Belum lagi, kacau-balau dan carut-marutnya sistem pendidikan di negara kita, sudah seharusnya (lagi) kita berpartisipasi membantu kerja pemerintah untuk menanggulangi bobroknya pendidikan Indonesia. Daripada mahasiswa, melakukan demo meneriakki sedikitnya jumlah APBN untuk bagian pendidikan, alangkah lebih baiknya kita, membantu menjadi guru-sukarela untuk adik-adik yang masih belum mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya.

Nah, dengan latar-belakang itu-lah, saya bersama dua teman baik saya Sri Suryani dan Robbi Zidna Ilman, yang kebetulan mereka sudah memiliki hubungan baik dengan suatu daerah di dekat lingkungan kampus, menawarkan diri kami untuk membimbing adik-adik di daerah tersebut untuk mendapatkan pelajaran tambahan.

Hal ini tidak mendadak dilakukan, tetapi dengan investigasi dan pendekatan yang cukup memakan waktu, karena kami sadar bahwa yang akan kami bimbing ke depannya adalah anak orang, bukan anak kami. Sehingga, alangkah lebih baiknya, kalo kami menjalin hubungan baik dengan keluarga anak-anak tersebut lebih dulu, sehingga bisa mengantongi 'kepercayaan dari mereka'.

Apalagi pada saat itu si ibu RW sempat curhat seperti ini, 'Dulu waktu tahun 90-an, biasanya kalo malem, anak-anak di RW sini dateng ke kostan mahasiswa sambil teriak-teriak, 'Om.. Om.. Mau belajar, Om!'. Terus dia bilang, 'Sayang sekarang udah ga ada lagi...'

Karena, sudah pedekate cukup lama dengan 'Ketua Setempat' yah bisa kepala RT, atau kepala RW-nya, atau siapapun yang dituakan di daerah tersebut serta warga sekitar, kami akhirnya dizinkan belajar-mengajar di daerah tersebut, kami juga di pinjamkan masjid untuk dibiarkan melakukan proses belajar-mengajar. Hal itu sudah berlangsung sejak November 2011, alhamdulillah hingga saat ini proses belajar mengajar masih berlangsung hingga sekarang.

Selain rumah belajar di daerah sekitar kampus. Saya dan teman-teman dari SKHOLE, juga membangun rumah belajar di salah satu panti asuhan di kota Bandung, di daerah Ciumbeleuit. Prosesnya yang dilakukan sama dengan cerita di atas. Kami mendatangi Kepala Pimpinan Panti Asuhan tersebut, dan menanyakan masalah yang dihadapi adik-adik di sana. Dan ternyata sama saja, adik-adik masih kesulitan menerima pelajaran di sekolah, salah satu faktornya adalah karena terjadi 'shock culture'. Asal mereka dari kota terpencil, agak kesulitan menangkap materi yang ternyata terjadi perbedaan antara kurikulum di kota besar dan kota pedalaman (daerah). Lucu yah. Karena itu, mereka (pihak panti) sangat senang waktu kami menginisiasi diadakan kelas belajar di sana agar bisa meningkatkan motivasi semangat belajar adik-adik di sana.

Selain belajar materi sekolah, kami juga sempat memperkenalkan keilmuan yang ada di kampus kami kepada mereka, agar memotivasi tujuan masa depan mereka, agar mereka tahu bahwa ilmu di dunia ini begitu luas dan banyak. Agar mata mereka terbuka luas tentang bidang keilmuan.

Kami juga sempat membuat kurikulum sendiri, walau belum teraplikasikan dengan baik. Gunanya dari pembuatan kurikulum ini sendiri adalah, agar suatu saat nanti, sistem pendidikan yang kacau balau ini dapat terbenahi dengan gagasan-gagasan baru dari kami. Kalau bisa saya bilang, sekolah-sekolah atau rumah-rumah belajar yang kami bangun ini adalah suatu bentuk demo dari rakyat (khususnya mahasiswa) kepada pemerintah atas carut-marutnya sistem pendidikan negara ini.

Bersambung...

0 komentar:

top