Tiga tahun yang lalu, saya mengikuti dan ikut berpartisipasi pada pemilihan calon ketua BEM di kampus saya. Saya di sana sebagai salah satu promotor calon ketua BEM. Di kampus saya itu, biasanya terdapat dua golongan, kami menyebutnya golongan depan dan golongan belakang. Saya sendiri tidak berada di golongan depan, tapi saya juga bukan berasal dari golongan belakang. Golongan depan ini identik dengan mahasiswa-mahasiswa yang biasa disebut 'aktivis dakwah kampus', sedangkan golongan belakang, biasanya adalah orang-orang selain golongan depan.
Sudah menjadi gosip umum di kampus saya, bahwa golongan depan ini pada setiap terjadinya pemilihan raya ketua BEM sudah mengantongi sekitar 2000 suara massa. Kebanyakan mereka adalah anggota suatu unit kampus yang mewadahi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan suatu agama, Islam.
Singkat cerita, tim politik saya berakhir dengan sad-ending, karena kami ternyata kalah pada pemilihan raya tahun tersebut, padahal kami sudah berjuang habis-habisan untuk menang, agar ide kami tentang kemahasiswaan bisa terealisasi dengan baik. Atas segala ke-simpang-siuran yang terjadi pada saat pemilu raya berlangsung, saya bertekad dalam hati saya, saya harus mencari tahu kenapa tim sebelah -yang berasal dari golongan depan- bisa menang dengan mutlak atas tim kami. Apa yang bisa membuat mereka memiliki loyalitas yang begitu besar dari kadernya?
Akhirnya, setelah pemira (akronim dari pemilu raya) berakhir, saya memutuskan untuk masuk ke dalam sistem sebelah, mungkin bisa dibilang pada saat itu saya adalah penyusup. Tapi saya tidak mewakili siapa-siapa, rasa penasaran sayalah yang mewakili saya untuk mencari tahu apa yang terjadi dalam atas sistem yang terbentuk begitu rapih yang memancing saya antusias saya. Tetapi, selain untuk mengetahui sistem pengkaderan yang ujungnya menghasilkan loyalitas dan kepatuhan anggota yang begitu baik, saya memang sudah lama ingin belajar agama di jalan yang (mungkin) benar.
Momennya waktu itu tepat sekali, mereka sedang mengadakan acara sekolah khusus perempuan, dengan bahasan tentang perempuan pula. Kebetulan, saya berteman baik dengan beberapa teman-teman yang berasal dari 'golongan depan', walau 'bermusuhan' dalam perpolitikan, honestly, mereka adalah teman-teman yang baik kepada saya.
Ketika saya bilang kepada mereka, bahwa saya ingin mempelajari agama, saya langsung ditanya mau mulai kapan. Bahkan saya langsung dikasih mentor yang kebetulan adalah teman saya sendiri. Seiringnya dengan berjalannya waktu, 'mentoring' sayapun naik tingkat, saya 'dikirim' ke ilmunya yang lebih banyak dari kakak mentor yang sebelumnya. Sampai pada saat saya harus pindah kampus yang berbeda kota, sayapun diperlakukan dengan baik, kakak mentor saya membantu saya mencari mentor yang baru, hingga saat saya pindah ke Depok, saya sudah mendapatkan Murobbi yang baru dan ilmunya juga sudah lebih baik dari yang sebelumnya. Saya sungguh menyukai dalam lingkaran ini, walau kadang saya sering mendapatkan 'doktrinasi' yang kadang sulit saya bisa mengerti.
Dari semua Murobbi ataupun kakak mentor yang membimbing saya, semakin tinggi ilmunya saya makin merasakan kesetiaan yang begitu mendalam atas sistem ini, sistem yang mereka sebut Tarbiyah. Loyalitas, kesetiaan, dan kepatuhan -yang menurut saya- sulit dimengerti bagi orang di luar sistem. Mungkin, karena basis agama yang digunakan dan nama Tuhan yang seringkali diperdengarkan, membuat saya sedikit memahami, betapa banyak orang yang akhirnya -bisa dibilang- 'terjerat' dengan kuat di dalam sistem ini.
'Sialnya', selama saya pindah kampus baru, saya malah berteman dengan teman-teman yang juga berada dalam sistem ini (dan hampir semua dari mereka berada dalam sistem ini bahkan sejak SMA), malah saya menikahi salah satu dari mereka. Atas segala diskusi-diskusi yang menghasilkan banyak informasi, saya akhirnya mengerti, kenapa dulu saya dan tim kalah. 'Brainwash' yang dilakukan hampir tiap minggu dalam bentuk 'halaqah' atau 'mentoring', tentu menjadi salah satu kunci kenapa kader-kader yang terbentuk dalam sistem tarbiyah ini bisa memiliki kesetiaan yang begitu baik. Kenapa saya bilang 'brainwash' dalam tanda kutip -karena literally- mereka tidak benar-benar dicuci otak sehingga tidak mampu menggunakan otaknya sendiri, tapi saya melihat seringkali terjadinya informasi satu arah dari pengkader (murabbi atau mentor).
Bagi saya, kadang loyalitas ini sendiri terlihat menyeramkan. Betapa sering saya merasakan, sempit/sedikitnya informasi dari luar sistem yang akhirnya bisa diterima oleh kader (mungkin karena terlalu banyak informasi yang disuapkan di dalam sistem itu sendiri). Dilihat dari betapa mudahnya orang-orang di dalam sistem ini seringkali 'menghakimi salah' suatu gagasan yang berbeda dari gagasan yang mereka terima dalam sistem. Sulitnya mereka untuk menerima informasi di luar karena mereka lebih memilih untuk skeptis lebih dulu ketimbang berusaha untuk lebih terbuka pikirannya dalam menerima informasi kemudian bisa berfikir kritis.
Atas tulisan ini, saya sebenarnya berfikir bahwa sistem pengkaderan ini sangat baik -seharusnya bisa dicontoh partai-partai yang ada di Indonesia-, karena orang-orang yang di dalam sistem ini pun banyak yang berasal dari perguruan tinggi terkemuka (yang artinya mereka memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik). Hanya saja, dengan ketatnya alur informasi yang bisa/mampu diterima para kader, saya hanya menyayangkan pada akhirnya saya hanya melihat kebanyakan kader-kader tersebut tidak lagi seperti manusia sesungguhnya -yang seharusnya mampu mengkritisi banyak hal serta tidak menelan mentah-mentah segala ilmu secara satu arah. Saya, akhirnya, kadang melihat para kader ini tidak bedanya dengan robot-robot yang diciptakan dari pendidikan yang tidak memanusiakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar