pagi ini saya tersentak dengan berita, ada seorang ibu yang harus mengungsi dari rumahnya akibat didemo warga di sekitar. alasannya, si ibu berjiwa mulia ini, melaporkan sekolah tempat anaknya menimba ilmu karena melakukan pencotekkan massal.
mengenaskan. menyedihkan. dan sangat mengerikan. calon-calon generasi pemimpin bangsa, diajarkan untuk melakukan pencotekkan masal. ini lah wajah Indonesia sebenarnya, kita disiapkan untuk jadi robot pengejar nilai, bukan mendidik manusia untuk menjadi manusia. manusia yang diharapkan memiliki banyak kecakapan agar bisa membuat negara ini lebih maju
teman saya, bernama Gemuruh Geo pernah berkata,
jika ada orang yang menyontek maka nilai kita baik, jika nilai kita baik maka IP kita baik, jika IP kita baik, kita gampang dapet kerja, kalo kita udah kerja, kita dapet gaji, nah, gaji kita kan di pake buat makan, akhirnya hasil dari contekkan itu mengalir ke darah kita, kalo kita punya anak, di darah anak kita mengalir darah hasil contekkan, dan begitu seterusnya...
saya ga munafik, dulu saya melakukan contek, ga sering memang, tapi kalo udah kepepet banget, yah mau gimana lagi daripada ngulang (atau dulu bahasa gaulnya remedi). tapi setelah ngobrol dengan Geo panjang lebar, saya memutuskan untuk berhenti melakukannya sekalipun udah diujung tanduk. saya mulai nyontek itu sejak SMP, baik jadi pelaku pencontekkan ataupun yang memberikan contekkan, yang paling lucu adalah, seringkali teman yang saya beri contekkan, nilainya lebih baik daripada saya. tapi bagi saya tidak mengapa, asal semua senang.
tapi sekarang saya jadi mikir, jadi selama ini saya sekolah buat apa sih? buat dapet nilai bagus doang? biar nantinya bisa kuliah di tempat bagus pula, kalo sudah kuliah di tempat bagus, bisa dapet tempat kerja enak deh, dengan gaji gede pula. yah, kalo sudah begitu, kalo menurut saya, apa bedanya kita dengan robot yang di program, ga punya jiwa. balik lagi, ke ide dasar kenapa perlu adanya sekolah, adalah biar anak-anak bisa memiliki kemampuan di bidangnya masing-masing, melakukan apa yang mereka bisa dan mereka suka, prinsip skhole pada zaman Yunani dulu. tapi dari video RSA, yang dibuat oleh Sir Ken Robinson, kata Sir Ken, segala mengenai pendidikan berubah saat zaman Revolusi Industri, sekolah jadi terseret dalam sistem kapitalis, yah akhirnya sampai jadi kayak sekarang. kita sekolah (tampaknya) agar punya ijazah doang terus kalo punya ijazah bisa kerja dimana-mana deh, bukan memanusiakan manusia, agar dapat melakukan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dia miliki. hal ini, bisa jadi bahwa mindset kebahagiaan di tiap kepala manusia adalah dimana kita punya banyak uang. padahal, kebahagiaan sendiri subjektif.
padahal, pada UU Sisdiknas, Bab II, pasal 3, tertulis jelas,
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
tapi tampaknya elemen yang bertanggung jawab atas keberjalanan sistem pendidikan, telah lupa, apa yang mereka telah rancangkan di UU Sisdiknas ini sendiri. mereka lupa esensi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu memanusiakan manusia, bukan mengejar ijazah. bagi saya, ijazah itu hanyalah sebuah selembar bonus, atas keberhasilan kita mengenyam pendidikan.
miris sih, tapi yah mau bagaimana lagi, makanya saya salut banget dengan ibu Siami (ibu yang ada di berita yang saya baca) yang berjuang untuk mendidik anaknya untuk tetap jadi 'manusia'. yah, ibu mana yang ingin anaknya 'terkotori'. kalo kata pak Ki Hadjar Dewantara, dalam bukunya Menuju Manusia Merdeka, setiap anak sebenernya sudah punya dasarnya sendiri, nah bagaimana orangtua atau orang-orang terdekatnya, mendidik dia untuk jadi lebih baik. sama hal yang dilakukan oleh ibu Siami, dia ingin mendidik anak menjadi 'anak yang baik'. tapi, saya tak menyalahkan seratus persen, apa yang dilakukan oleh warga-warga yang marah dengan ibu Siami, karena mereka juga merupakan korban, korban dari kekacauan implementasi sistem pendidikan yang di Indonesia. siapa yang pernah mencerdaskan mereka, bahwa fungsi sekolah yang utama bukan mengejar nilai baik, tapi memanusiakan manusia pada utuhnya. tidak ada bukan? sekali lagi, mereka cuman korban, korban ketidak-tahuan fungsi sekolah ataupun pendidikan khususnya.
bagi saya sebenarnya sendiri, contek atau ga itu masalah prinsip, kayak agama. makanya saya ga terlalu repot buat nyuruh orang untuk berhenti nyontek, tapi bukan berarti kita harus mendiamkan yang mereka lakukan, tapi kalo sudah dikasih tahu tapi tak mau mendengarkan apa boleh buat, itu pilihan mereka. mungkin 'hidayah'-nya belum nyampe, sama kayak berdakwah, iyah ga?
tapi saya sepakat banget, menyontek itu adalah biang atau awal dari korupsi. lah kok iso? kita biasanya melakukan sesuatu dari hal yang paling gampang, kemudian terasa enak, kita melakukan kembali, akhirnya jadi besar. saya yakin, dulu Gayus nyuri di perpajakkan, tidak langsung bermilyar-milyar, pasti dari yang kecil-kecil dulu, eh ternyata ketagihan, akhirnya, yah kayak kasus kemaren, sampe ber-milyar-milyar.
apa yang saya tulis di atas ini, cuman bentuk kesedihan saya terhadap salah kaprahnya pemikiran orang-orang tentang pendidikan, pendidikan dan sekolah bukanlah hanya mengejar ijazah, ijazah hanyalah bonus atas keberhasilan kita, saat kita sungguh-sungguh mempelajari apa yang dihadapkan di kita. saya tak pernah menyesal nilai jelek saat saya benar-benar tak bisa di suatu mata pelajaran, buat apa nilai kita baik jika kita tak paham sedikitpun dengan pelajaran tersebut.
lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikkan - Soe Hok Gie
akhir kata, saya salut sekali dengan kegigihan Ibu Siami melawan kemunafikkan, hingga berbuah pengasingan. saya sendiri, belum tentu bisa sehebat ibu Siami, semoga suatu hari nanti, bangsa ini, bisa memiliki ibu Siami-ibu Siami lainnya, aamiin.