Bencana alam, aktual tsunami Mentawai, letusan Merapi, dan anomali iklim, mengingatkan banyak hal di antaranya tentang keteledoran, karakter khas kita.
Kita alpa merawat, meremehkan profesi, dan mengesampingkan ilmu-ilmu kebumian. Aktivitas merusak belakangan ini memang tidak bisa kita cegah, tetapi bisa kita perkecil kemungkinan dan dampak negatifnya. Sikap kita serba reaktif, tergopoh-gopoh kedodoran menangani bencana, berlanjut dengan mengunyah-ngunyah dan memuntahkan kata-kata solidaritas kemanusiaan.
Terbiarkannya rusak pelampung pendeteksi tsunami (buoy) kawasan Mentawai mengakibatkan tanda-tanda tsunami tak dikenali sedini mungkin. Kearifan lokal tentang makna tanggung jawab dalam sosok Mbah Maridjan terbelokkan jadi wacana klenik-klenikan Merapi. Perusakan alam lingkungan atas nama pembangunan merupakan bagian penyebab bencana longsor dan banjir.
Kita tidak perlu berandai-andai, tetapi berpikir dan bertindak proaktif. Memetik musibah jadi pelatuk membongkar karakter abai dan taken for granted. Jadi aktivitas 22 gunung berapi akhir-akhir ini menggerakkan motivasi, dan tidak disikapi dengan ”sudah biasa”.
Termasuk di dalam ranah kealpaan itu adalah tidak tergeraknya kita memberi perhatian kepada profesi-profesi dan ilmu pengetahuan yang relevan, profesi-profesi sepi dan ilmu-ilmu kebumian yang kering jauh dari popularitas dan gelimang uang.
Reportase harian ini tentang para penjaga Merapi (Kompas, 2/11) menarik dari sisi menyajikan kealpaan kita mengapresiasi jenis-jenis profesi sepi. Mereka membangun kepercayaan dan benih-benih kepastian, Indonesia bisa maju karena bersatu.
Pekerja-pekerja sepi seperti penunggu Gunung Merapi niscaya tidak bisa dipercayakan kepada sosok Mbah Maridjan. Penunggu tanda-tanda tsunami Mentawai tidak bisa sepenuhnya dipercayakan kepada pelampung Sangkuriang. Ilmu-ilmu kering tentang kebumian niscaya tidak bisa melejit menarik ibarat ilmu-ilmu atau profesi-profesi basah tanpa kita usahakan dan kembangkan bersama.
Kita tidak ingin bencana tsunami Mentawai, letusan Merapi, dan merosotnya profesi kemanusiaan kita lewatkan begitu saja. Kita tidak ingin keluhuran profesi kepemimpinan politik tergerus sehingga tidak menarik lagi. Merosotnya daya tarik profesi kepemimpinan politik menjadi pelatuk mengembalikan keluhuran profesi di ranah sepi yang jauh dari lukratifnya uang, tidak sekadar dengan pujian semu, tetapi dalam bentuk penghargaan riil. Merekalah pekerja-pekerja sepi, pun yang bertelut dalam ranah ilmu-ilmu nonlukratif.
Kita setuju tidak rela disebut negara berpotensi gagal versi Fukuyama. Sebaliknya kita tidak ingin menukas kemungkinan itu dengan mendendangkan lirik ”nina bobo” untuk meyakinkan diri yang sebenarnya adalah menggeruskan pelapukan.
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/04/02534794/tajuk.rencana
saat baca ini saya merasa malu dan miris, saya di ilmu kebumian, seharusnya saya bisa menjadi solusi atas permasalahan ini, miris :'(
0 komentar:
Posting Komentar