Beberapa waktu belakangan ini, saya jadi lebih sering menghabiskan waktu untuk menonton BBC Knowledge ketimbang saluran televisi yang lain. Mungkin, saya merasa lebih banyak belajar dari menonton program-program yang dimiliki saluran televisi ini. Tulisan saya kali ini bukan ingin membahas isi program secara spesifik, tapi lebih ke insight apa yang saya dapatkan setelah menonton itu.
Sekitar dua atau seminggu yang lalu, BBC Knowledge, berturut-turut menayangkan perjalanan reporter programnya untuk melakukan perjalanan ke Indonesia. Dua program yang berbeda, tapi sama-sama menceritakan tentang keadaan fauna di Indonesia. Awalnya, ada rasa bangga tersendiri mengetahui bahwa Indonesia diliput oleh program televisi standar internasional, tapi ternyata kenyataannya diakhir acara, saya malah berurai air mata.
----
Pada program pertama yang saya tonton, seorang reporter televisi yang melakukan perjalanan khusus meliput kukang. kukang adalah primata pemakan semut yang hampir mirip seperti monyet tapi dengan struktur muka yang lebih lucu. Inti perjalanan itu sendiri adalah, melihat tempat penangkaran satwa kecil. Karena ternyata kukang banyak diburu di Indonesia, habitatnya mulai makin menyempit, dan kukang sendiri terancam punah.
Ada satu bagian yang ikut membuat saya berurai air mata, di mana si reporter ini menyusuri pasar hewan di pusat kota Jakarta. Dia (reporter) mencoba melakukan investigasi tentang penjualan Kukang secara ilegal, alhasil dia menemukan 4 ekor kukang yang dijual seharga 500ribu-an rupiah. Kukang-kukang tersebut ternyata juga banyak yang diselundupkan ke luar negeri untuk dijual sebagai hewan peliharaan. Ketika pulang dari pasar hewan tersebut, reporter tersebut menangis tersedu-sedu, karena dia merasa tidak bisa menyelamatkan kukang-kukang malang yang berada di dalam kandang sempit dan tidak diperlakukan dengan baik.
Mirisnya adalah, di pasar hewan itu banyak polisi yang sedang berpatroli, ntah mereka tidak tahu perdagangan kukang itu ilegal karena kukang adalah hewan yang terancam punah, atau mereka pura-pura lupa untuk menegakan keadilan. Reporter itu sangat menyesali kenapa pemerintah Indonesia tidak tegas terhadap penjualan satwa langka, padahal itu jelas-jelas terjadi.
---
Program ke dua yang saya tonton lebih mengerikan lagi. Reporter televisi ini tidak hanya meliput tentang kehidupan kukang, tapi juga hewan-hewan yang dibunuh dan ditangkap serta diperjualbelikan secara ilegal di Indonesia.
BBC Knowledge menyatakan, bahwa Indonesia adalah eksportir sirip hiu terbesar di dunia, yang juga adalah pembunuh hiu nomor satu di dunia. Padahal, pembunuhan hiu secara besar-besaran ini sendiri, sudah dilarang secara internasional, karena memang mengganggu ekosistem lautan itu sendiri. Kemudian, dia beralih pada berita pembunuhan gajah-gajah di sumatera untuk mendapatkan gading.
Dan liputan itu berakhir di pasar hewan yang sama, yaitu di pusat kota Jakarta (seperti yang saya ceritakan di atas). Di bagian ini, dia menunjukkan kukang-kukang yang dicabut giginya yang ternyata dibuat oleh penjual hewan agar kukang-kukang itu tidak berbahaya lagi. Dan yang lebih mengejutkan, banyak sekali peminat pembeli kukang untuk dijadikan peliharaan, kebanyakan mereka yang membeli adalah warga kelas menengah ke atas Jakarta. Selain kukang, di pasar itu juga banyak sekali hewan-hewan langka lainnya termasuk monyet dan ular langka. Tidak jarang (menurut penjual hewannya) bahkan harimau yang juga dijual di pasar tersebut, sesuai dengan permintaan pasar yang ada, jelasnya.
---
Dan hari ini, saya menonton kembali sebuah liputan penelitian yang dilakukan kerjasama oleh pemerintah Bhutan dan sekelompok biologists, untuk mendata hewan-hewan apa saja yang ada di hutan pegunungan di Bhutan (saya lupa apa nama daerahnya). Di liputan tersebut, saya bisa melihat sendiri, bagaimana hutan itu benar-benar masih alami, dalam artian tidak ada deforestasi berarti. Di sana keanekaragaman hewan serta tumbuhannya masih baik. Dan program itu di akhiri dengan suatu pernyataan dari biologist yang melakukan penelitian di sana, 'karena masyarakat Bhutan adalah penganut Budha, tidak ada hutan yang lebih aman selain di Bhutan bagi hewan-hewan langka.'
---
Setelah menonton tiga program televisi yang berbeda tersebut, saya jadi memikirkan banyak hal. Sebegitu gagalkah pendidikan di negara kita hingga bisa melahirkan banyak sekali orang-orang yang tidak memiliki hati nurani hanya demi kepuasan nafsu pribadi, dimulai dari penangkap, penjual, pembeli hingga pemerintah yang terlihat anteng-anteng saja dengan makin menurunnya jumlah populasi hewan-hewan langka di hutan-hutan Indonesia (belum lagi deforestasi hutan Indonesia yang sangat parah).
Pusing saya jadi berkelanjutan, karena menyadari bahwa Indonesia ternyata memiliki umat Islam terbesar di dunia. Padahal Islam adalah rahmatan lil 'alamin, yang artinya (koreksi saya jika saya salah) rahmat bagi semua. Dan manusia sendiri dalam Islam adalah khalifah, yang artinya pemimpin. Saya rasa seorang pemimpin harus bersikap adil kepada siapapun, termasuk kepada hewan sekalipun. Benar kata Bang Akhyar, jangan-jangan Islam memang tidak cocok untuk negara seperti Indonesia. Maksudnya apa, yah coba pikir sendiri.
Salam waras.
Tiga tahun yang lalu, saya mengikuti dan ikut berpartisipasi pada pemilihan calon ketua BEM di kampus saya. Saya di sana sebagai salah satu promotor calon ketua BEM. Di kampus saya itu, biasanya terdapat dua golongan, kami menyebutnya golongan depan dan golongan belakang. Saya sendiri tidak berada di golongan depan, tapi saya juga bukan berasal dari golongan belakang. Golongan depan ini identik dengan mahasiswa-mahasiswa yang biasa disebut 'aktivis dakwah kampus', sedangkan golongan belakang, biasanya adalah orang-orang selain golongan depan.
Sudah menjadi gosip umum di kampus saya, bahwa golongan depan ini pada setiap terjadinya pemilihan raya ketua BEM sudah mengantongi sekitar 2000 suara massa. Kebanyakan mereka adalah anggota suatu unit kampus yang mewadahi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan suatu agama, Islam.
Singkat cerita, tim politik saya berakhir dengan sad-ending, karena kami ternyata kalah pada pemilihan raya tahun tersebut, padahal kami sudah berjuang habis-habisan untuk menang, agar ide kami tentang kemahasiswaan bisa terealisasi dengan baik. Atas segala ke-simpang-siuran yang terjadi pada saat pemilu raya berlangsung, saya bertekad dalam hati saya, saya harus mencari tahu kenapa tim sebelah -yang berasal dari golongan depan- bisa menang dengan mutlak atas tim kami. Apa yang bisa membuat mereka memiliki loyalitas yang begitu besar dari kadernya?
Akhirnya, setelah pemira (akronim dari pemilu raya) berakhir, saya memutuskan untuk masuk ke dalam sistem sebelah, mungkin bisa dibilang pada saat itu saya adalah penyusup. Tapi saya tidak mewakili siapa-siapa, rasa penasaran sayalah yang mewakili saya untuk mencari tahu apa yang terjadi dalam atas sistem yang terbentuk begitu rapih yang memancing saya antusias saya. Tetapi, selain untuk mengetahui sistem pengkaderan yang ujungnya menghasilkan loyalitas dan kepatuhan anggota yang begitu baik, saya memang sudah lama ingin belajar agama di jalan yang (mungkin) benar.
Momennya waktu itu tepat sekali, mereka sedang mengadakan acara sekolah khusus perempuan, dengan bahasan tentang perempuan pula. Kebetulan, saya berteman baik dengan beberapa teman-teman yang berasal dari 'golongan depan', walau 'bermusuhan' dalam perpolitikan, honestly, mereka adalah teman-teman yang baik kepada saya.
Ketika saya bilang kepada mereka, bahwa saya ingin mempelajari agama, saya langsung ditanya mau mulai kapan. Bahkan saya langsung dikasih mentor yang kebetulan adalah teman saya sendiri. Seiringnya dengan berjalannya waktu, 'mentoring' sayapun naik tingkat, saya 'dikirim' ke ilmunya yang lebih banyak dari kakak mentor yang sebelumnya. Sampai pada saat saya harus pindah kampus yang berbeda kota, sayapun diperlakukan dengan baik, kakak mentor saya membantu saya mencari mentor yang baru, hingga saat saya pindah ke Depok, saya sudah mendapatkan Murobbi yang baru dan ilmunya juga sudah lebih baik dari yang sebelumnya. Saya sungguh menyukai dalam lingkaran ini, walau kadang saya sering mendapatkan 'doktrinasi' yang kadang sulit saya bisa mengerti.
Dari semua Murobbi ataupun kakak mentor yang membimbing saya, semakin tinggi ilmunya saya makin merasakan kesetiaan yang begitu mendalam atas sistem ini, sistem yang mereka sebut Tarbiyah. Loyalitas, kesetiaan, dan kepatuhan -yang menurut saya- sulit dimengerti bagi orang di luar sistem. Mungkin, karena basis agama yang digunakan dan nama Tuhan yang seringkali diperdengarkan, membuat saya sedikit memahami, betapa banyak orang yang akhirnya -bisa dibilang- 'terjerat' dengan kuat di dalam sistem ini.
'Sialnya', selama saya pindah kampus baru, saya malah berteman dengan teman-teman yang juga berada dalam sistem ini (dan hampir semua dari mereka berada dalam sistem ini bahkan sejak SMA), malah saya menikahi salah satu dari mereka. Atas segala diskusi-diskusi yang menghasilkan banyak informasi, saya akhirnya mengerti, kenapa dulu saya dan tim kalah. 'Brainwash' yang dilakukan hampir tiap minggu dalam bentuk 'halaqah' atau 'mentoring', tentu menjadi salah satu kunci kenapa kader-kader yang terbentuk dalam sistem tarbiyah ini bisa memiliki kesetiaan yang begitu baik. Kenapa saya bilang 'brainwash' dalam tanda kutip -karena literally- mereka tidak benar-benar dicuci otak sehingga tidak mampu menggunakan otaknya sendiri, tapi saya melihat seringkali terjadinya informasi satu arah dari pengkader (murabbi atau mentor).
Bagi saya, kadang loyalitas ini sendiri terlihat menyeramkan. Betapa sering saya merasakan, sempit/sedikitnya informasi dari luar sistem yang akhirnya bisa diterima oleh kader (mungkin karena terlalu banyak informasi yang disuapkan di dalam sistem itu sendiri). Dilihat dari betapa mudahnya orang-orang di dalam sistem ini seringkali 'menghakimi salah' suatu gagasan yang berbeda dari gagasan yang mereka terima dalam sistem. Sulitnya mereka untuk menerima informasi di luar karena mereka lebih memilih untuk skeptis lebih dulu ketimbang berusaha untuk lebih terbuka pikirannya dalam menerima informasi kemudian bisa berfikir kritis.
Atas tulisan ini, saya sebenarnya berfikir bahwa sistem pengkaderan ini sangat baik -seharusnya bisa dicontoh partai-partai yang ada di Indonesia-, karena orang-orang yang di dalam sistem ini pun banyak yang berasal dari perguruan tinggi terkemuka (yang artinya mereka memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik). Hanya saja, dengan ketatnya alur informasi yang bisa/mampu diterima para kader, saya hanya menyayangkan pada akhirnya saya hanya melihat kebanyakan kader-kader tersebut tidak lagi seperti manusia sesungguhnya -yang seharusnya mampu mengkritisi banyak hal serta tidak menelan mentah-mentah segala ilmu secara satu arah. Saya, akhirnya, kadang melihat para kader ini tidak bedanya dengan robot-robot yang diciptakan dari pendidikan yang tidak memanusiakan.
Sudah menjadi gosip umum di kampus saya, bahwa golongan depan ini pada setiap terjadinya pemilihan raya ketua BEM sudah mengantongi sekitar 2000 suara massa. Kebanyakan mereka adalah anggota suatu unit kampus yang mewadahi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan suatu agama, Islam.
Singkat cerita, tim politik saya berakhir dengan sad-ending, karena kami ternyata kalah pada pemilihan raya tahun tersebut, padahal kami sudah berjuang habis-habisan untuk menang, agar ide kami tentang kemahasiswaan bisa terealisasi dengan baik. Atas segala ke-simpang-siuran yang terjadi pada saat pemilu raya berlangsung, saya bertekad dalam hati saya, saya harus mencari tahu kenapa tim sebelah -yang berasal dari golongan depan- bisa menang dengan mutlak atas tim kami. Apa yang bisa membuat mereka memiliki loyalitas yang begitu besar dari kadernya?
Akhirnya, setelah pemira (akronim dari pemilu raya) berakhir, saya memutuskan untuk masuk ke dalam sistem sebelah, mungkin bisa dibilang pada saat itu saya adalah penyusup. Tapi saya tidak mewakili siapa-siapa, rasa penasaran sayalah yang mewakili saya untuk mencari tahu apa yang terjadi dalam atas sistem yang terbentuk begitu rapih yang memancing saya antusias saya. Tetapi, selain untuk mengetahui sistem pengkaderan yang ujungnya menghasilkan loyalitas dan kepatuhan anggota yang begitu baik, saya memang sudah lama ingin belajar agama di jalan yang (mungkin) benar.
Momennya waktu itu tepat sekali, mereka sedang mengadakan acara sekolah khusus perempuan, dengan bahasan tentang perempuan pula. Kebetulan, saya berteman baik dengan beberapa teman-teman yang berasal dari 'golongan depan', walau 'bermusuhan' dalam perpolitikan, honestly, mereka adalah teman-teman yang baik kepada saya.
Ketika saya bilang kepada mereka, bahwa saya ingin mempelajari agama, saya langsung ditanya mau mulai kapan. Bahkan saya langsung dikasih mentor yang kebetulan adalah teman saya sendiri. Seiringnya dengan berjalannya waktu, 'mentoring' sayapun naik tingkat, saya 'dikirim' ke ilmunya yang lebih banyak dari kakak mentor yang sebelumnya. Sampai pada saat saya harus pindah kampus yang berbeda kota, sayapun diperlakukan dengan baik, kakak mentor saya membantu saya mencari mentor yang baru, hingga saat saya pindah ke Depok, saya sudah mendapatkan Murobbi yang baru dan ilmunya juga sudah lebih baik dari yang sebelumnya. Saya sungguh menyukai dalam lingkaran ini, walau kadang saya sering mendapatkan 'doktrinasi' yang kadang sulit saya bisa mengerti.
Dari semua Murobbi ataupun kakak mentor yang membimbing saya, semakin tinggi ilmunya saya makin merasakan kesetiaan yang begitu mendalam atas sistem ini, sistem yang mereka sebut Tarbiyah. Loyalitas, kesetiaan, dan kepatuhan -yang menurut saya- sulit dimengerti bagi orang di luar sistem. Mungkin, karena basis agama yang digunakan dan nama Tuhan yang seringkali diperdengarkan, membuat saya sedikit memahami, betapa banyak orang yang akhirnya -bisa dibilang- 'terjerat' dengan kuat di dalam sistem ini.
'Sialnya', selama saya pindah kampus baru, saya malah berteman dengan teman-teman yang juga berada dalam sistem ini (dan hampir semua dari mereka berada dalam sistem ini bahkan sejak SMA), malah saya menikahi salah satu dari mereka. Atas segala diskusi-diskusi yang menghasilkan banyak informasi, saya akhirnya mengerti, kenapa dulu saya dan tim kalah. 'Brainwash' yang dilakukan hampir tiap minggu dalam bentuk 'halaqah' atau 'mentoring', tentu menjadi salah satu kunci kenapa kader-kader yang terbentuk dalam sistem tarbiyah ini bisa memiliki kesetiaan yang begitu baik. Kenapa saya bilang 'brainwash' dalam tanda kutip -karena literally- mereka tidak benar-benar dicuci otak sehingga tidak mampu menggunakan otaknya sendiri, tapi saya melihat seringkali terjadinya informasi satu arah dari pengkader (murabbi atau mentor).
Bagi saya, kadang loyalitas ini sendiri terlihat menyeramkan. Betapa sering saya merasakan, sempit/sedikitnya informasi dari luar sistem yang akhirnya bisa diterima oleh kader (mungkin karena terlalu banyak informasi yang disuapkan di dalam sistem itu sendiri). Dilihat dari betapa mudahnya orang-orang di dalam sistem ini seringkali 'menghakimi salah' suatu gagasan yang berbeda dari gagasan yang mereka terima dalam sistem. Sulitnya mereka untuk menerima informasi di luar karena mereka lebih memilih untuk skeptis lebih dulu ketimbang berusaha untuk lebih terbuka pikirannya dalam menerima informasi kemudian bisa berfikir kritis.
Atas tulisan ini, saya sebenarnya berfikir bahwa sistem pengkaderan ini sangat baik -seharusnya bisa dicontoh partai-partai yang ada di Indonesia-, karena orang-orang yang di dalam sistem ini pun banyak yang berasal dari perguruan tinggi terkemuka (yang artinya mereka memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik). Hanya saja, dengan ketatnya alur informasi yang bisa/mampu diterima para kader, saya hanya menyayangkan pada akhirnya saya hanya melihat kebanyakan kader-kader tersebut tidak lagi seperti manusia sesungguhnya -yang seharusnya mampu mengkritisi banyak hal serta tidak menelan mentah-mentah segala ilmu secara satu arah. Saya, akhirnya, kadang melihat para kader ini tidak bedanya dengan robot-robot yang diciptakan dari pendidikan yang tidak memanusiakan.
Langganan:
Postingan (Atom)