Beberapa waktu yang lalu saya menyelesaikan kembali sebuah buku berjudul, ‘Debu, Duka, Dsb’ tulisan Goenawan Mohamad. Saya tidak akan menceritakan keseluruhan isi buku tersebut. Ada hal menarik yang membuat saya sedikit kaget setelah membaca buku tersebut, lagi.
‘Debu, Duka, Dsb’ adalah buku ketiga dari Goenawan Mohamad yang saya baca. Secara garis besar, GM mencoba memberikan bantahan terhadap para theodis. Waktu pertama kali saya membaca buku ini, tentu banyak sekali resah yang bergejolak terjadi dalam diri saya, karena isu yang diangkat oleh buku ini cukup kompleks dan ‘bahaya’, tentang keadilan, takdir, kematian, Tuhan, dan lain-lainnya. Menariknya, di awal-awal membaca buku ini, timbul pertanyaan-pertanyaan baru yang menggugah saya untuk mencari jawabannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah saya fikirkan, pertanyaan- yang mungkin sedikit/banyak menggunggat Tuhan dan menggoyahkan apa yang sudah saya imani selama ini. Lucu yah, hanya dari sebuah buku dan pemikiran seseorang mampu memberikan efek yang cukup luar biasa kepada pembacanya. Tapi semakin saya larut dalam buku ini, saya malah semakin menemukan Tuhan dan keadilannya.
Saya malah makin tak sepaham dengan tesis-tesis yang diberika oleh GM. Saya makin bersemangat mengkoreksi bahkan mengkritisi yang GM tulis. Sebuah buku antitesis bagi para theodis, malah membantu seorang manusia melihat betapa adil Tuhannya. Atau mungkin memang itulah ‘subliminal message’ dari buku ini, ntahlah.
Sama hal waktu saya membaca ‘Catatan Seorang Demonstran’, saya kagum dengan Soe Hok Gie, tapi bukan berarti saya mengamini dan mengimani apa yang dia tulis, toh sampai detik ini saya masih tak sepaham dengan metode kritik dia terhadap pemerintah. Bahkan ada beberapa orang yang mengintepretasikan tulisan-tulisan Soe Hok Gie ini adalah sekedar omong kosong belaka.
Kadang kita, manusia, ketakutan duluan ketika melihat sesuatu yang bukan ’kita banget’, sehingga kita jadi malas untuk mengenalnya. Kadang kita tidak mampu menghadirkan sudut yang berbeda pada cara berfikir kita dalam melihat sesuatu. Kadang pula kita terlalu malas mengkritis dan mengkaji kembali apa yang telah kita dapati, sehingga seringkali menelan mentah-mentah informasi tersebut.
Ketika, saya sebelumnya ketakutan membaca suatu buku yang- mungkin mampu merusak apa yang telah saya imani. Saya ternyata salah. Sudut pandang yang baru itu mampu membantu saya makin mengimani apa yang telah saya imani.
Saya jadi belajar, bahwa saat kita menemukan informasi baru yang tidak sepaham dengan saya atau malah juga sangat saya imani, saya tidak bisa terus saja menelan mentah-mentah informasi tersebut tanpa melakukan filterisasi, yaitu mengkaji ulang atau mengkritisi kembali. Karena Tuhan tentu memberikan kita akal untuk berfikir, bukan untuk menjadi hal yang sia-sia. Dan dalam proses filterisasi informasi itulah, akal akan berperan penting.
Sekian tulisan kurang penting dari saya. Terimakasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca ini. Have a nice day :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar