Tulisan ini, bukan untuk mengumbar tentang kemiskinan orang lain, tapi tulisan ini saya buat agar saya, kamu, kita, bisa belajar dari kejadian ini. Jika ada kesalahan dalam penulisan ini, saya minta maaf dan kepada Allah saya mohon ampun, dan jika ada yang merasa tersirat kesombongan di sini, biarlah Allah yang menghukum niat buruk saya.
Namanya Restu, 18 tahun, Jakarta, orangtuanya sudah berpisah. Ibunya sempat jadi TKW tetapi saat ini bekerja sebagai pengasuh bayi, ayahnya di papua. Restu pernah membawa nama sekolahnya di OSN Matematika tingkat DKI Jakarta. Hidup di saat SMA dibiayai oleh orangtua asuhnya tetapi saat ini sudah tidak lagi, sehari-hari menjadi guru bimbel bagi teman SMA-nya sendiri. Restu adalah satu-satunya siswa SMA 58 Jakarta yang diterima di jalur undangan untuk kuliah di ITB.
Mungkin karena sistem jalur undangan ini, baru digunakan pertama kali, banyak miskomunikasi di sini. Kurangnya informasi dari pihak ITB kepada sekolah-sekolah yang mendapatkan jalur undangan, menjadikan alasan betapa banyak siswa-siswa SMA yang telah diterima melalui jalur undangan akhirnya batal masuk ITB karena kesalahan pengisian uang pangkal. Karena satu-satunya murid yang diterima di jalur undangan, sekolahnya (Restu) memutuskan untuk mengisi BPPM (uang pangkal masuk ITB) sebesar 50% karena alasan jika mengisi kesanggupan membayar uang pangkal 0% takut tidak diterima. Padahal dari pihak ITB sendiri tidak pernah mengeluarkan pernyataan, potongan atau diskon mempengaruhi chance untuk masuk ITB. Dengan mengajukan uang pangkal dengan potongan sebesar 50%, sekolah berharap setelah Restu diterima, Restu bisa mendapatkan dari pihak ITB. Kenyataannya Restu tidak punya uang sebanyak 27,5 juta, dan Restu mencoba untuk meminta keringanan, tetapi ditolak dengan alasan birokrasi dan kesepakatan di awal bahwa Restu telah menandatangani surat dengan materai akan mengikuti aturan di ITB membayar uang pangkal sejumlah 27,5 juta dengan tambahan 1 juta sebagai uang matrikulasi. Saya memaklumi alasan pihak ITB ini.
Saya tak mengenal Restu, awalnya. Terimakasih Joko Wisnugroho, adik tingkat saya, yang mem-publish kisah Restu di Twitter. Saya terdorong untuk membantu Restu, tapi karena saya sendiri tidak bisa menyumbangkan banyak uang, apalagi sampai 27.5 juta. Akhirnya, saya menyanggupi untuk menemani Restu selama di Bandung, karena Wisnu (panggilan Joko Wisnugroho) harus kembali ke Jakarta, akhirnya sayalah yang membantu untuk mengurusi keperluan Restu mendaftar di ITB sambil mencari dana untuk menutupi 28.5 juta. Saalahnya saya, saya meminta bantuan kepada teman-teman mahasiswa yang notabene-nya belum memiliki penghasilan, akhirnya saya mencoba mem-publish kisah Restu di Grup Keluarga Besar Fisika ITB, dan alhamdulillah ada respon yang cukup baik dari kakak-kakak PPIS, walau masih belum menutupi pembayaran uang pangkal Restu.
Saya mencoba menghubungi anggota kabinet KM ITB, hingga akhirnya saya meminta bantuan Menko Penkesma (CMIIW), Adit PT, dan Adit akhirnya membantu saya untuk mengkomunikasikan kasus Restu ke Pak Brian (Kepala Lembaga Kemahasiswaan ITB, CMIIW). Dari Adit, saya mendapatkan informasi, bahwa Restu buat saja surat pernyataan keterangan tidak mampu, dan saat mendaftar (tanggal 31 Mei 2011) di Sabuga, Restu dapat menyerahkan ini.
Saya juga mendapatkan informasi untuk menghubungi Ibu Mindri di CCAR lanta IV, dari ibu Nurjehan di bagian TPB. Akhirnya, hari ini saya menemani Wisnu bertemu ibu Mindri, tapi di Gedung Annex, saya tidak ‘diizinkan’ bertemu ibu Mindri, saya akhirnya bertemu ibu (yang mengakunya) bernama ibu Resti. Beliau menyuruh Restu, untuk menyetorkan uang yang Restu punya, saat ini uang yang Restu punya sebesar 20,5 juta rupiah, Restu harus melunaskan uang matrikulasi sebesar 1 juta dan sisanya untuk BPPM sebesar 19,5 juta. Sedangkan sisa-nya Restu harus meminta keringanan saat mendaftar di Sabuga, tanggal 31 Mei 2011, besok. Dengan membawa bukti pembayaran yang telah Restu lakukan.
Akhirnya, saya, Restu, ibu-nya Restu, dan 3 orang anak SMA (yang sudah berbaik hati menemani Restu, padahal hanya kenal melalui Facebook, luar biasa ke-solid-an anak-anak ITB 2011 ini), kami menuju ke BNI, mengikuti saran dari ibu Resti. Melunaskan keuangan Restu. Pembayaran selesai, kami tinggal menghadap ke pihak panitia, besok, 31 Mei 2011, dengan membawa bukti pembayaran yang telah dilakukan Restu, kemudian dari informasi yang saya dapatkan dari Adit, Pak Brian mengatakan, besok ada jalur khusus untuk kasus seperti Restu. Saya, ibu Restu, dan Restu lega, untuk sementara.
Tadi sore, saya mendapatkan telepon, dari mamanya sahabat saya, Laura Valencia. Sejujurnya saya tidak tahu siapakah Mama-nya Laura, apa jabatannya, yang pasti, dia mengerti betul sistem jalur undangan ini. Panjang lebar mengobrol, Mama-nya Laura mengatakan saya, seharusnya ibu Resti (dari pihak Rektorat) tidak memiliki hak untuk menyuruh kami membayarkan uang dengan anggapan sisanya bisa dilunaskan nanti. Menurut Mama-nya Laura, Pembantu Rektor III-lah yang memiliki kewenangan seperti itu. Dia menyayangkan tindakan kami dan ibu Resti, karena menurut dia, sistem yang digunakan pada pembayaran ini adalah sistem komputer, jika pembayaran kurang, makanya sistem akan menolak dan nama Restu tidak terdaftar untuk pendaftaran besok paginya. Karena itu Mama-nya Laura menganjurkan saya, untuk menemani Ibu-nya Restu untuk menghadap Pembantu Rektor III untuk meminta keringanan.
Walau baru mengenal Restu, saya melihat semangat besar yang dimiliki Restu untuk melanjutkan pendidikannya di ITB. Memang ada yang bilang, tempat kuliah itu sama saja, jika tidak mampu untuk berkuliah di ITB, kenapa harus di paksakan. Bagi saya, kita tidak berhak mematikan mimpi seorang manusia. Apalagi Restu sempat bilang ke Ibu-nya,’Restu ga akan minta apa-apa lagi dengan Ibu, Restu cuman ingin kuliah di ITB, Restu mohon dibantu Ibu’. Akhirnya Ibunya pun mengalah pinjam sana-sini, terkumpulah 20,5juta itu. Ntah bagaimana cara mengembalikan 20 juta sekian itu, masalah nanti, yang penting Restu diusahakan agar bisa masuk di ITB. Bahkan Restu berjanji dengan ibu-nya, setelah masuk di ITB, Restu tidak akan menyusahkan keluarganya dengan meminta sepeser rupiahpun, Restu akan mencari biaya sendiri agar bisa bertahan hidup di ITB.
Besok, Restu akan mendaftar di Sabuga, dan saya akan menemani Ibu-nya Restu untuk bertemu Pembantu Rektor III. Saya mohon doa bagi siapapun yang membaca tulisan saya ini, agar kami diberikan kemudahan, agar Restu bisa diterima di ITB melanjutkan mimpi dan cita-citanya di Matematika ITB, aamiin.
Bagi saya, Restu hanyalah salah satu dari sekian dari siswa SMA yang bermimpi untuk mendapatkan pendidikan yang sama baiknya dengan yang lain, Restu juga merupakan contoh dari ketidak-adilan sistem pendidikan yang dibuat oleh pemerintah. Di luar sana, percayalah, masih banyak Restu-Restu lain yang berjuang keras agar bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik, semoga nasib baik bersama mereka, aamiin. Dari tulisan tentang Restu ini, saya juga berharap, semoga kita (mahasiswa) sadar bahwa menjadi mahasiswa itu impian banyak orang diluar sana, dan janganlah kita mengecewakan mereka dengan menyia-nyiakan kesempatan yang telah kita dapatkan, kawan. Semoga ke depannya, sistem informasi yang dibuat oleh pihak ITB bisa lebih baik lagi. Semoga sistem pendidikan Indonesia lebih adil lagi bagi siapapun, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan dana. Aamiin.
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Merdeka!
Nayasari Aissa
Fisika 2007