Setelah lulus dari Fisika, sebenarnya saya sudah langsung melanjutkan tugas akhir saya di jurusan Fisika, sebagai bahan awal topik tesis. Tapi mendadak nafsu saya sama ilmu Fisika menjadi menurun, mungkin karena jenuh. Efek baru lulus tapi ga dikasih waktu bernafas, karena saya harus langsung mulai lagi dengan berbagai jurnal dan tiap minggu langsung lapor progress. Kalo dipikir-pikir kalo tekad saya bulat buat jadi researcher, sebenarnya itu bukan jadi beban. Karena stress, saya ngobrol panjang lebar sama dosen pembimbing saya waktu itu, tentang niat saya kepengen buat pindah jurusan, waktu itu saya mau lanjut ke Magister Bisnis Administrasi di kampus yang sama, tapi setelah dipikir-pikir saya kayaknya ga cocok jadi entrepeneur, saya juga ngbayangin hidup saya kayaknya bakalan habis di kantor. Akhirnya saya mikir-mikir ulang buat ke mana.
Waktu itu kebetulan saya lagi baca banyak buku-buku Bung Hatta, kemudian akhirnya memutuskan untuk nyoba kuliah di jurusan sosial, Ilmu Ekonomi. Waktu itu saya mikirnya, pasti seru banget karena kerjaan saya pasti baca-baca doang bukan nurunin rumus apalagi sampai modelling kayak kerjaan saya dulu di Fisika. Alasan lainnya adalah saya ng-fans berat sama Bu Sri Mulyani yang keceh badai itu. Akhirnya saya pilih Ilmu Ekonomi sebagai salah satu rumah dalam perjalanan hidup saya, hahaha.
Lucunya, waktu matrikulasi (yang khusus diadakan pagi mahasiswa-non-ekonomi seperti saya) pelajaran yang diberikan adalah matematika-ekonomi. What a lucky, itu mirip persis sama mata kuliah kalkulus dasar dan fisika-matematika, karena sama-sama berlandaskan ilmu matematika. Saya ga nyangka ternyata di Ekonomi ketemu lagi sama makhluk menggemaskan bernama matematika.
'Dibesarkan' dengan cara berfikir yang 'luas' di Fisika, sebenarnya ilmu-ilmu ini berhubungan. Walau sempat ngos-ngosan buat adaptasi sama mata kuliahnya, sebenarnya kuliah di Ilmu Ekonomi tidak jauh berbeda dengan kuliah di jurusan Fisika, yah namanya sama-sama belajar tentang bagaimana mengamati 'alam'. Yang lebih bikin kaget lagi, sewaktu saya mengambil mata kuliah berjudul Ekonomi Regional, ada dua persamaan yang saya ga asing di Fisika, yaitu gaya sentripetal-sentrifugal dan gaya gravitasi. Gaya-gaya tersebut digunakan untuk membahas fenomena ekonomi.
Tesis saya berhubungan dengan energi. Lebih lucunya lagi, saya diberi tema geothermal atau panas bumi oleh dosen pembimbing saya, di mana ini dulu sempat saya pelajari di Fisika (dan dosen pembimbing saya di fisika adalah seorang geophysicist yang fokus di ilmu panas bumi), what a coincidence! Walau saya memang lebih fokus di masalah ekonominya, tapi tetap saya akhirnya saya harus diskusi dengan teman-teman dari kampus lama buat nyari tahu banyak hal tentang energi panas bumi.
Dua tahun kebelakang ini bener-bener jadi hal yang menyenangkan buat saya selama kuliah di Ekonomi. Selain bener-bener menambah wawasan, -mungkin karena dasar ilmu sosial- saya jadi ngeliat ilmu yang lebih aplikatif buat hidup. Ngeliat harga cabe naek, saya manggut-manggut. Liat economic's growth turun, manggut-manggut lagi -sok ngerti alesan dibalik itu, haha. Bener-bener ga abstrak kayak Fisika, walau hubungan antar ilmu itu kerasa bangeeeeeeeeeet.
Satu hal yang saya bikin saya sadar selama kuliah ekonomi adalah, baik ilmu sosial maupun ilmu sains itu syulit. Makanya saya makin ga ngerti kenapa muncul trademark kalo lo masuk IPS artinya lo itu ga pinter-pinter amat lah -karena ga keterima di IPA-. Serius kuliah di Ekonomi bikin saya makin sadar kalo semua ilmu it butuh dipahami, ga cuman dihafal doang. Karena semua ilmu itu, baik ilmu sosial maupun ilmu sains itu butuh kerja banget buat belajarnya dan setiap ilmu itu punya hubungannya tersendiri antar ilmu. Kalo dipikir-pikir, pantes rata-rata orang jaman dulu pasti ga cuman menguasai satu ilmu doang, like my favorite scientist ever, Einstein, yang jago di banyak bidang.
Kalo diingat-ingat lucu juga, waktu saya pindah dari Bandung ke Depok, teman-teman saya berpesan nanti kalau sesampai di Depok, jangan berhenti untuk tetap berada di dunia pendidikan, kalau bisa bikin tetap bikin sekolah sendiri, ‘sayang ilmunya…’ kata mereka beramai-ramai. Tapi apa daya, beda suasana dan juga merasa beda pergaulan, sesampai di Depok saya cuman pengen rajin kuliah, lulus dan kerja dengan baik. Organisasi itu -bagi saya waktu itu- cuman masa indah pada waktu kuliah sarjana. Siapa sangka, manusia berencana, Tuhan juga yang menentukan. Sesampai di Depok, saya berkenalan dengan seorang abang bernama Akhyar, yang mengetahui saya memiliki khasrat di dunia pendidikan, kemudian dia mengenalkan saya kepada teman yang juga memiliki khasrat yang sama, namanya Tery.
Singkat cerita, ngobrol ngalur ngidul, pada hari pertama saya berkenalan dengan Tery kami memutuskan untuk membuat semacam tempat belajar untuk anak-anak di sekitar rumah Tery yang tepatnya berada di Kapuk, kami memilih untuk fokus di pendidikan anak usia dini serta taman baca -kebetulan Tery dan Bang Akhyar merupakan anggota Langit Sastra, komunitas yang berkegiatan di dunia sastra-. Dua bulan kami bertiga melakukan persiapan yang singkat dan padat, mulai dari berinteraksi dengan ketua RT, berkenalan dengan ibu-ibu setempat, menyiapkan materi, visi-misi sekolah, dan tidak ketinggalan mencari calon pengajar tempat sekolah kami. Kenapa kami memilih pendidikan anak usia dini?
Sebenarnya hal yang pertama kami sepakati tentang ini adalah karena di lingkungan rumah Tery banyak sekali anak-anak berusia 1-6 tahun. Banyak sekali. Dengan melakukan studi tentang kebutuhan para orangtua di Kapuk, kami meyakini bahwa dengan minimnya tempat belajar bagi-bagi anak usia dini, sekolah kami bisa menjadi angin segar di lingkungan tersebut. Sekolah kami, kami beri nama Sekolah Bermain Matahari. Mirip-mirip dengan saudaranya di Bandung, yang selama setahun sebelumnya sempat saya berkegiatan di sana, namanya Sekolah Bermain Balon Hijau.
Selain karena studi tentang kebutuhan masyarakat di daerah Kapuk. Kami juga melihat masalah pendidikan secara general, di mana saya melihat ternyata kebutuhan akan pendidikan untuk anak usia dini di Indonesia sangat 'urgent'. Di mana, anak-anak usia 0-6 tahun, atau disebut masa golden age, harus dididik dengan tepat, agar mampu menjadikan manusia yang berkarakter di masa depan. Dengan latar belakang pendidikan Tery dan Bang Akhyar yang merupakan mahasiswa psikologi, saya melihat Sekolah Bermain Matahari ini bisa menjadi laboratorium mini untuk melihat model pendidikan anak usia dini yang baik itu seperti apa. Yang kami harapkan outputnya kelak adalah model manusia yang berkarakter baik yaitu yang berakhlak baik, cerdas, dan peka terhadap lingkungannya, -yaitu sebaik-baiknya manusia-.
Antusias yang baik sekali waktu kami pertama kali mengadakan open recruitment untuk pengajar, belum lagi latar belakang pengajar yang benar-benar beragam dimulai dari psikologi, kesehatan masyarakat, keperawatan, ekonomi, farmasi, bahkan informatika dan arsitektur.
Sekolah Bermain Matahari menjadi benar-benar menyenangkan.
Kami bisa meracik ilmu hingga metode yang tepat untuk anak-anak didik kami secara bersama-sama dengan beragam kelimuan, teman-teman kami -pada akhirnya- bisa mengaplikasikan keilmuannya secara nyata pada sekolah kami.
Belum lagi, selain sibuk dengan pendidikan anak usia dini, perhatian kami terhadap ibu-ibunya juga sama besarnya. Bagaimana tidak, anak-anak didik kami menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama ibunya dibandingkan kami. Agar mereka bisa mendidik anaknya dengan baik, kami juga harus mengedukasi ibu-ibu kami terkait banyak hal urusan tentang rumah tangga. Karena kami bukan ahlinya -apalagi kami banyak yang belum menikah-, kami tentu mengundang pakar-pakarnya seperti dosen-dosen Universitas Indonesia dan beberapa pembicara yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Mulai dari psikologi anak, makanan sehat, obat herbal, sampai masalah keuangan dalam rumah tangga coba kami bantu berikan. Walau hasilnya, memang belum terasa, tapi kami benar-benar melihat antusias yang luar biasa dari orangtua anak didik kami.
Lebih dari setahun sekolah kami ada, melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terimakasih untuk semua yang telah berpartisipasi untuk keberjalanan sekolah kami -kita-. Saat ini kami mungkin memang tidak menawarkan masa depan yang baik untuk mereka, tapi yang pasti kami semua memiliki cinta agar sekolah ini tetap ada untuk membenahi pendidikan di negara ini bersama-sama.
Hormat saya,
Nayasari Aissa
Kepala Sekolah Bermain Matahari 2012-2014
Kepada Pak Susilo Bambang Yudhoyono, yang masih saya hormati.
Sebenarnya saya tahu, mungkin sia-sia saya menuliskan keluhan saya ini apalagi hanya di laman pribadi milik saya, dan saya pun tahu bapak terlalu sibuk dengan segala kegiatan bapak hingga tidak mungkin sempat membacanya. Tapi ini mungkin salah satu cara yang bisa saya lakukan untuk menyampaikan 'keluhan' saya.
Saya adalah satu dari sekian juta rakyat Indonesia yang sering menggunakan kendaraan umum, saya sendiri tidak mempunyai kendaraan pribadi dan saya memang belum mampu untuk membelinya.
Beberapa minggu belakangan ini, saya mendengar kabar baik dari wakil presiden Anda, Pak Budiono, tentang mobil murah. Tapi sayangnya berita ini tidak membuat saya menjadi berbinar-binar dan bahagia. Karena saya tahu, pasar mobil murah itu bukan untuk saya (sekalipun konon katanya uang pangkal dan cicilan perbulannya sangat terjangkau).
Sayapun sempat membaca salah satu wawancara dengan mentri Anda di media online yang mengatakan, bahwa 'diadakannya' penjualan besar-besaran mobil murah ini agar semua lapisan masyarakat bisa menikmati naik mobil, termasuk orang-orang yang berada di Papua.
Pak, kebetulan saya belajar di jurusan ekonomi, salah satu matakuliah saya berjudul Ekonomi Regional, dosen saya pernah menjelaskan bahwa salah satu permasalahan Indonesia terbesar saat ini menyangkut hubungan antara regional adalah masalah infrastruktur di tiap provinsi seperti pembangunan jalan yang masih seringkali terbengkalai. Saya sendiri berasal dari Sumatera Selatan, dan pernah beberapa kali menggunakan jalan-jalan untuk ke berbagai kampung di Sumsel. Sungguh begitu memprihatinkannya keadaan jalanan tersebut. Saya jadi berfikir keras, bagaimana mungkin rakyat-rakyat di daerah mampu atau ingin membeli mobil sekalipun murah jika jalanan untuk menuju tempat tinggalnya saja masih tidak terfasilitasi.
Menurut saya, masalah di atas ini, tentu akan melahirkan masalah baru, yaitu, lalu untuk siapa kabar gembira tentang mobil murah ini? Bisa jadi jawabannya adalah, warga-warga di kota-kota besar dengan jalur transportasi darat yang sudah baik pula. Saya makin menjadi pusing memikirkannya Pak, seperti yang sudah kita ketahui bahwa hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia, mengalami kemacetan yang parah, termasuk Jakarta-kan, Pak? Saya tidak bisa membayangkan jika ternyata yang membeli sebagian besar mobil-mobil murah ini berasal dari kota-kota besar tersebut (apalagi target perusahaan sebesar 3000unit/bulan untuk satu merk mobil).
Belum lagi definisi 'mobil murah' ini begitu absurd, untuk harga paling 'murah' saja dipatok sebesar 70jutaan, untuk warga Indonesia kelas menengah ke bawah dengan pendapat di bawah UMR, tentu sulit membayangkan mereka mampu membawa mobil ini pulang ke rumah mereka.
Sungguh saya sedang tidak iri dengan kemampuan rakyat Indonesia untuk membeli mobil murah ini. Saya malah berbahagia artinya pertumbuhan ekonomi negara kita bisa jadi akan terus membaik (semoga). Apalagi jika ternyata, pembuatan suku cadang atau bahkan pembuatan mobil itu sendiri diproduksi di negara kita hingga bisa dieskpor ke banyak negara.
Tapi Pak, yang ingin saya tekankan bahwa tidak melihat urgensi kebutuhan transportasi murah ini. Sebagai penggunakan transportasi publik, saya melihat rakyat Indonesia lebih butuh transportasi publik yang murah dan nyaman. Ditambah lagi makin lama, keadaan transportasi publik makin tidak manusiawi, kadang-kadang sampai kelebihan kapasitas muatan. Mungkin Bapak harus mencoba untuk menggunakan transportasi publik secara sembunyi-sembunyi agar Bapak merasakan apa yang rakyat kecil benar-benar rasakan. Dari riset kecil-kecilan yang pernah saya lakukan bahwa alasan masih banyaknya orang-orang Indonesia menggunakan kendaraan pribadi adalah karena tidak tersedianya angkutan umum yang nyaman bagi mereka.
Bayangkan, Pak! Jika sebagian besar orang Indonesia menggunakan transportasi publik, berapa banyak bahan bakar yang mampu kita hemat, dan berapa besar pula kontribusi kita dalam mengurangi emisi gas rumah kaca bagi lapisan ozon, apalagi Indonesia saat ini adalah penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. Semoga ini bisa menjadi pertimbangan bagi kebijakan yang diambil oleh mentri-mentri di kabinet Anda.
Akhir kata dari tulisan saya yang panjang dan lebih banyak mengeluhnya ketimbang memberikan solusi, saya hanya ingin mengungkapkan satu hal saja. Sudah lebih dari delapan tahun Bapak menjadi presiden bagi rakyat Indonesia dan sebentar lagi masa bapak akan segera berakhir, berikanlah saya -kami- kesan yang mendalam bahwa kami pernah memiliki pemimpin yang bijaksana seperti Anda.
Sekian dan terimakasih.
Nayasari Aissa
Pengguna Transportasi Publik
—
Beberapa waktu yang lalu saya menonton salah satu film dokumenter yang menceritakan kasus bullying atau perundungan yang terjadi di sekolah-sekolah Amerika. Film ini menunjukkan liputan mereka secara diam-diam atas kasus-kasus perundungan yang terjadi beberapa sekolah, bahkan pada beberapa kasus, ada anak-anak yang memutuskan untuk bunuh diri karena tidak tahan menjadi korban perundungan. Mengerikan. Saya tidak mampu membayangkan bagaimana perasaan orangtua korban perundungan. Menangis pun, anaknya tak kan pernah hidup lagi. Tapi ada hal yang lebih menakuti bagi saya. Bagaimana jika ternyata pelaku perundungan tersebut. Mungkin hidup saya akan tidak sama tenangnya dengan hidup orangtua korban. Saya mungkin akan menyesal seumur hidup karena tak mampu mendidik anak yang lahir dari rahim saya dengan baik, tak mampu membawa dia menjadi orang yang mengasihi orang lain.
Dan kemarin, lini masa saya dihebohkan sebuah berita tentang seorang anak lelaki yang berumur 13 tahun yang membawa mobil dan menyebabkan tabrakan hingga 6 orang meninggal. Hal pertama yang terlintas di kepala saya adalah sebuah kesedihan. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dia alami dari umurnya 0 tahun hingga menginjak 13 tahun. Pendidikan macam apa yang diberikan orangtuanya, hingga mengizinkan anak berumur 13 tahun mengendarai mobil, sendirian, dan pada waktu tengah malam pula. Walaupun dia adalah tersangka yang menyebabkan 6 orang meninggal, tetapi bagi saya dia juga adalah korban. Korban akibat pendidikan yang gagal yang diberikan orangtuanya kepada saya. Korban akibat orangtuanya tak tahu apa yang baik bagi anak itu.
Saya makin merasa ngilu.
Saya selalu mengingat-ingat sebuah tulisan Ki Hadjar Dewantara, bahwa (ringkasnya) anak-anak itu -bahkan pada saat di rahim- sudah memiliki sifat baik dan buruk. Mereka bagaikan sebuah buku yang sudah penuh tulisan baik dan tulisan buruk. Tapi pada saat mereka terlahir, pendidikan -tidak hanya di sekolah- di linkungannya lah yang akan menguatkan salah satu sifat tersebut. Karena hakikatnya setiap manusia pasti memiliki sifat baik dan buruk, hanya pendidikanlah yang akan membuat menonjol salah satu sifat tersebut.
Memiliki anak adalah sebuah pilihan. Tetapi dia (anak tersebut) sebenarnya juga memiliki hak, yaitu mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya jika dia dilahirkan di dunia ini. Pendidikan yang bisa menjadikan dia manusia yang sesuai dengan norma-norma kehidupan. Mereka bukanlah sekedar makhluk lucu yang membahagiakan kita, tapi mereka bernyawa, hidup, dan juga membutuhkan penghidupan yang mampu memanusiakan mereka. Maka sebelum memutuskan untuk memilikinya, pikirlah baik-baik apa saja yang terbaik bagi mereka -bukan hanya menurut kita-.
Karena seperti kata Khalil Gibran, ‘Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan.’
Sekitar dua atau seminggu yang lalu, BBC Knowledge, berturut-turut menayangkan perjalanan reporter programnya untuk melakukan perjalanan ke Indonesia. Dua program yang berbeda, tapi sama-sama menceritakan tentang keadaan fauna di Indonesia. Awalnya, ada rasa bangga tersendiri mengetahui bahwa Indonesia diliput oleh program televisi standar internasional, tapi ternyata kenyataannya diakhir acara, saya malah berurai air mata.
----
Pada program pertama yang saya tonton, seorang reporter televisi yang melakukan perjalanan khusus meliput kukang. kukang adalah primata pemakan semut yang hampir mirip seperti monyet tapi dengan struktur muka yang lebih lucu. Inti perjalanan itu sendiri adalah, melihat tempat penangkaran satwa kecil. Karena ternyata kukang banyak diburu di Indonesia, habitatnya mulai makin menyempit, dan kukang sendiri terancam punah.
Ada satu bagian yang ikut membuat saya berurai air mata, di mana si reporter ini menyusuri pasar hewan di pusat kota Jakarta. Dia (reporter) mencoba melakukan investigasi tentang penjualan Kukang secara ilegal, alhasil dia menemukan 4 ekor kukang yang dijual seharga 500ribu-an rupiah. Kukang-kukang tersebut ternyata juga banyak yang diselundupkan ke luar negeri untuk dijual sebagai hewan peliharaan. Ketika pulang dari pasar hewan tersebut, reporter tersebut menangis tersedu-sedu, karena dia merasa tidak bisa menyelamatkan kukang-kukang malang yang berada di dalam kandang sempit dan tidak diperlakukan dengan baik.
Mirisnya adalah, di pasar hewan itu banyak polisi yang sedang berpatroli, ntah mereka tidak tahu perdagangan kukang itu ilegal karena kukang adalah hewan yang terancam punah, atau mereka pura-pura lupa untuk menegakan keadilan. Reporter itu sangat menyesali kenapa pemerintah Indonesia tidak tegas terhadap penjualan satwa langka, padahal itu jelas-jelas terjadi.
---
Program ke dua yang saya tonton lebih mengerikan lagi. Reporter televisi ini tidak hanya meliput tentang kehidupan kukang, tapi juga hewan-hewan yang dibunuh dan ditangkap serta diperjualbelikan secara ilegal di Indonesia.
BBC Knowledge menyatakan, bahwa Indonesia adalah eksportir sirip hiu terbesar di dunia, yang juga adalah pembunuh hiu nomor satu di dunia. Padahal, pembunuhan hiu secara besar-besaran ini sendiri, sudah dilarang secara internasional, karena memang mengganggu ekosistem lautan itu sendiri. Kemudian, dia beralih pada berita pembunuhan gajah-gajah di sumatera untuk mendapatkan gading.
Dan liputan itu berakhir di pasar hewan yang sama, yaitu di pusat kota Jakarta (seperti yang saya ceritakan di atas). Di bagian ini, dia menunjukkan kukang-kukang yang dicabut giginya yang ternyata dibuat oleh penjual hewan agar kukang-kukang itu tidak berbahaya lagi. Dan yang lebih mengejutkan, banyak sekali peminat pembeli kukang untuk dijadikan peliharaan, kebanyakan mereka yang membeli adalah warga kelas menengah ke atas Jakarta. Selain kukang, di pasar itu juga banyak sekali hewan-hewan langka lainnya termasuk monyet dan ular langka. Tidak jarang (menurut penjual hewannya) bahkan harimau yang juga dijual di pasar tersebut, sesuai dengan permintaan pasar yang ada, jelasnya.
---
Dan hari ini, saya menonton kembali sebuah liputan penelitian yang dilakukan kerjasama oleh pemerintah Bhutan dan sekelompok biologists, untuk mendata hewan-hewan apa saja yang ada di hutan pegunungan di Bhutan (saya lupa apa nama daerahnya). Di liputan tersebut, saya bisa melihat sendiri, bagaimana hutan itu benar-benar masih alami, dalam artian tidak ada deforestasi berarti. Di sana keanekaragaman hewan serta tumbuhannya masih baik. Dan program itu di akhiri dengan suatu pernyataan dari biologist yang melakukan penelitian di sana, 'karena masyarakat Bhutan adalah penganut Budha, tidak ada hutan yang lebih aman selain di Bhutan bagi hewan-hewan langka.'
---
Setelah menonton tiga program televisi yang berbeda tersebut, saya jadi memikirkan banyak hal. Sebegitu gagalkah pendidikan di negara kita hingga bisa melahirkan banyak sekali orang-orang yang tidak memiliki hati nurani hanya demi kepuasan nafsu pribadi, dimulai dari penangkap, penjual, pembeli hingga pemerintah yang terlihat anteng-anteng saja dengan makin menurunnya jumlah populasi hewan-hewan langka di hutan-hutan Indonesia (belum lagi deforestasi hutan Indonesia yang sangat parah).
Pusing saya jadi berkelanjutan, karena menyadari bahwa Indonesia ternyata memiliki umat Islam terbesar di dunia. Padahal Islam adalah rahmatan lil 'alamin, yang artinya (koreksi saya jika saya salah) rahmat bagi semua. Dan manusia sendiri dalam Islam adalah khalifah, yang artinya pemimpin. Saya rasa seorang pemimpin harus bersikap adil kepada siapapun, termasuk kepada hewan sekalipun. Benar kata Bang Akhyar, jangan-jangan Islam memang tidak cocok untuk negara seperti Indonesia. Maksudnya apa, yah coba pikir sendiri.
Salam waras.
Sudah menjadi gosip umum di kampus saya, bahwa golongan depan ini pada setiap terjadinya pemilihan raya ketua BEM sudah mengantongi sekitar 2000 suara massa. Kebanyakan mereka adalah anggota suatu unit kampus yang mewadahi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan suatu agama, Islam.
Singkat cerita, tim politik saya berakhir dengan sad-ending, karena kami ternyata kalah pada pemilihan raya tahun tersebut, padahal kami sudah berjuang habis-habisan untuk menang, agar ide kami tentang kemahasiswaan bisa terealisasi dengan baik. Atas segala ke-simpang-siuran yang terjadi pada saat pemilu raya berlangsung, saya bertekad dalam hati saya, saya harus mencari tahu kenapa tim sebelah -yang berasal dari golongan depan- bisa menang dengan mutlak atas tim kami. Apa yang bisa membuat mereka memiliki loyalitas yang begitu besar dari kadernya?
Akhirnya, setelah pemira (akronim dari pemilu raya) berakhir, saya memutuskan untuk masuk ke dalam sistem sebelah, mungkin bisa dibilang pada saat itu saya adalah penyusup. Tapi saya tidak mewakili siapa-siapa, rasa penasaran sayalah yang mewakili saya untuk mencari tahu apa yang terjadi dalam atas sistem yang terbentuk begitu rapih yang memancing saya antusias saya. Tetapi, selain untuk mengetahui sistem pengkaderan yang ujungnya menghasilkan loyalitas dan kepatuhan anggota yang begitu baik, saya memang sudah lama ingin belajar agama di jalan yang (mungkin) benar.
Momennya waktu itu tepat sekali, mereka sedang mengadakan acara sekolah khusus perempuan, dengan bahasan tentang perempuan pula. Kebetulan, saya berteman baik dengan beberapa teman-teman yang berasal dari 'golongan depan', walau 'bermusuhan' dalam perpolitikan, honestly, mereka adalah teman-teman yang baik kepada saya.
Ketika saya bilang kepada mereka, bahwa saya ingin mempelajari agama, saya langsung ditanya mau mulai kapan. Bahkan saya langsung dikasih mentor yang kebetulan adalah teman saya sendiri. Seiringnya dengan berjalannya waktu, 'mentoring' sayapun naik tingkat, saya 'dikirim' ke ilmunya yang lebih banyak dari kakak mentor yang sebelumnya. Sampai pada saat saya harus pindah kampus yang berbeda kota, sayapun diperlakukan dengan baik, kakak mentor saya membantu saya mencari mentor yang baru, hingga saat saya pindah ke Depok, saya sudah mendapatkan Murobbi yang baru dan ilmunya juga sudah lebih baik dari yang sebelumnya. Saya sungguh menyukai dalam lingkaran ini, walau kadang saya sering mendapatkan 'doktrinasi' yang kadang sulit saya bisa mengerti.
Dari semua Murobbi ataupun kakak mentor yang membimbing saya, semakin tinggi ilmunya saya makin merasakan kesetiaan yang begitu mendalam atas sistem ini, sistem yang mereka sebut Tarbiyah. Loyalitas, kesetiaan, dan kepatuhan -yang menurut saya- sulit dimengerti bagi orang di luar sistem. Mungkin, karena basis agama yang digunakan dan nama Tuhan yang seringkali diperdengarkan, membuat saya sedikit memahami, betapa banyak orang yang akhirnya -bisa dibilang- 'terjerat' dengan kuat di dalam sistem ini.
'Sialnya', selama saya pindah kampus baru, saya malah berteman dengan teman-teman yang juga berada dalam sistem ini (dan hampir semua dari mereka berada dalam sistem ini bahkan sejak SMA), malah saya menikahi salah satu dari mereka. Atas segala diskusi-diskusi yang menghasilkan banyak informasi, saya akhirnya mengerti, kenapa dulu saya dan tim kalah. 'Brainwash' yang dilakukan hampir tiap minggu dalam bentuk 'halaqah' atau 'mentoring', tentu menjadi salah satu kunci kenapa kader-kader yang terbentuk dalam sistem tarbiyah ini bisa memiliki kesetiaan yang begitu baik. Kenapa saya bilang 'brainwash' dalam tanda kutip -karena literally- mereka tidak benar-benar dicuci otak sehingga tidak mampu menggunakan otaknya sendiri, tapi saya melihat seringkali terjadinya informasi satu arah dari pengkader (murabbi atau mentor).
Bagi saya, kadang loyalitas ini sendiri terlihat menyeramkan. Betapa sering saya merasakan, sempit/sedikitnya informasi dari luar sistem yang akhirnya bisa diterima oleh kader (mungkin karena terlalu banyak informasi yang disuapkan di dalam sistem itu sendiri). Dilihat dari betapa mudahnya orang-orang di dalam sistem ini seringkali 'menghakimi salah' suatu gagasan yang berbeda dari gagasan yang mereka terima dalam sistem. Sulitnya mereka untuk menerima informasi di luar karena mereka lebih memilih untuk skeptis lebih dulu ketimbang berusaha untuk lebih terbuka pikirannya dalam menerima informasi kemudian bisa berfikir kritis.
Atas tulisan ini, saya sebenarnya berfikir bahwa sistem pengkaderan ini sangat baik -seharusnya bisa dicontoh partai-partai yang ada di Indonesia-, karena orang-orang yang di dalam sistem ini pun banyak yang berasal dari perguruan tinggi terkemuka (yang artinya mereka memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik). Hanya saja, dengan ketatnya alur informasi yang bisa/mampu diterima para kader, saya hanya menyayangkan pada akhirnya saya hanya melihat kebanyakan kader-kader tersebut tidak lagi seperti manusia sesungguhnya -yang seharusnya mampu mengkritisi banyak hal serta tidak menelan mentah-mentah segala ilmu secara satu arah. Saya, akhirnya, kadang melihat para kader ini tidak bedanya dengan robot-robot yang diciptakan dari pendidikan yang tidak memanusiakan.
Perempuan Indonesia, pada kenyataannya masih banyak tidak mendapatkan hak-hak yang sama seperti yang didapatkan oleh laki-laki. Salah satu contohnya adalah pendidikan yang sama dengan pendidikan yang didapatkan oleh laki-laki. Di daerah-daerah terpencil, masih banyak ternyata anak perempuan yang tidak bisa 'pergi ke sekolah' seperti kebanyakan anak laki-laki. Hal ini akibat stigma yang terbentuk di masyarakat bahwa percuma "perempuan mendapatkan pendidikan toh mereka akan tetap berada di dapur dan membesarkan anak". Padahal, pada kenyataannya, urusan rumah tangga dan membesarkan anakpun membutuhkan ibu yang cerdas -yang tentunya mendapatkan pendidikan yang baik pula-
Pernah saya berdiskusi dengan salah satu teman dari jurusan kesehatan masyarakat, bahwa banyak sekali perempuan di daerah terpencil di Indonesia, karena tidak mendapatkan pendidikan yang baik, akhirnya tidak bisa mendidik dan mengasuh anak dengan baik pula, akibat yang paling mengerikan adalah, banyak anak-anak Indonesia yang pada akhirnya mengalami gizi buruk yang dikarenakan kemiskinan dan ibu-yang-tidak-terdidik-sama-sekali. Kemiskinan itu pula terjadi karena ibu tidak mempunyai kemampuan apa-apa untuk berada di pasar kerja, akibatnya pekerjaan paling mungkin yang dilakukannya adalah menjadi buruh serabutan atau bahkan tidak bisa bekerja sama sekali sehingga tidak menghasilkan apapun.
Dengan tidak terpenuhinya pula hak perempuan dalam hal pendidikan, mengakibat kesenjangan yang terjadi kepada perempuan di pasar kerja, jumlah angkatan kerja masih didominasi oleh laki-laki, serta sektor-sektor potensial lebih banyak diisi oleh laki-laki pula ketimbang perempuan. Hal ini, ternyata jika diusut lebih jauh akibat latar belakang pendidikan yang ditempuh laki-laki lebih baik ketimbang perempuan. Bahkan banyak fakta dilapangan perempuan memang banyak mengalami diskriminasi di lapangan kerja, dianggap tidak berpotensi untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh laki-laki, misalnya memimpin. Perempuan dipasar kerja memang lebih diarahkan untuk sektor-sektor yang membutuhkan penampilannya ketimbang gagasan/pemikirannya. Upah yang didapatkan perempuanpun terkadang lebih kecil dibandingkan upah yang didapatkan oleh laki-laki.
Perempuan-perempuan Indonesia memang harus mendapatkan pendidikan yang sama baiknya dengan laki-laki. Mungkin memang sudah saatnya kita perlu menyamakan definisi kesetaraan gender, agar tidak ada lagi memandang sebelah mata dulu terhadap perempuan-perempuan yang menginginkan dihilangkannya diskriminasi atas hak-hak perempuan di dunia pendidikan maupun pasar kerja, karena bagi saya keinginan kesetaraan itu tidak berlebihan, dan tidak perlu pula dicecar apalagi dilecehkan. Bahkan kalau tidak salah, Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa, perempuan adalah tiang negara, yang artinya perempuan yang cerdas adalah awal dari kemajuannya suatu negara.
Apalagi sedari kecil saya terdidik untuk memimpin, dimulai dari menjadi kakak bagi adik perempuan saya satu-satunya, sewaktu SD dan SMP sering diamanahkan sebagai ketua kelas, bahkan pemimpin upacara di upacara bendera. Sewaktu SD, SMP, dan SMA, bahkan kepala sekolah saya ketiga-tiganya adalah perempuan, dan mereka semua terlihat stunning, apalagi kepala sekolah SMA saya. Karena itu, dimata saya sah-sah saja bagi saya perempuan memimpin.
Dan saya masih ingat betul waktu Megawati naik posisi menjadi Presiden RI. Waktu, itu saya makin yakin, bahwa perempuan bisa memiliki proporsi hak yang sama dengan laki-laki termasuk sebagai pemimpin. Tapi saya bukan penggemar Megawati, saya bahkan tak sepakat jika beliau memimpin negara ini, bukan karena kodrat dia sebagai perempuan -lemah, cengeng, atau emosional-, tapi karena saya tak melihat kapabilitas dia bisa memimpin negara ini dengan baik.
Beberapa waktu yang lalu, bahkan di Tempo bahkan membahas tentang ibu Tri Risma Harini yang sukses memimpin kota Surabaya sebagai walikota. Hal paling awesome yang saya lihat dari apa yang dia lakukan dia bisa mengubah Dolly dari tempat yang 'menakutkan' menjadi ruang-ruang baca, dan Surabaya sukses memiliki taman-taman hijau yang membuat Surabaya bahkan konon tidak segersang yang dulu lagi.
Makanya, saya sering tak sepaham dan tak masuk akal saya kenapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin di suatu posisi tertentu, dengan alasan yang juga tak masuk akal, misalnya hormon. Banyak tulisan-tulisan atau kalimat yang pada akhirnya memojokkan posisi perempuan di masyarakat. Misal, karena perempuan memiliki siklus menstruasi di setiap bulannya yang menjadikan emosi tak stabil, hal ini dijadikan senjata bagi beberapa orang untuk menjatuhkan posisi perempuan. Bagi saya pribadi, emosi stabil atau tak stabil itu bisa dikembalikan ke individu masing-masing, saya yakin tiap-tiap perempuan di muka bumi ini sebenarnya bisa memanajemen emosinya dengan baik.
Perempuan juga kadang dianggap tidak terlalu pintar, dan tak punya kapabilitas untuk memimpin, lemah, cengeng, dan sebagainya. Padahal dari beberapa jurnal penelitian yang saya, kenapa perempuan dianggap kurang pintar dan punya kapabilitas dibidang kepemimpinan, dikarenakan mereka tidak dididik untuk menjadi pemimpin. Stereotip tentang perempuan yang kodratnya di dapur dan tidak perlu menempuh pendidikan yang baik, masih terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Banyak perempuan tidak diberikan peluang untuk menempuh pendidikan yang sama baiknya dengan laki-laki. Dan banyak pula steorotip bahwa perempuan yang menempuh pendidikan tinggi (beberapa) diwajibkan untuk masuk ke jurusan tertentu, misal perempuan sebaiknya jadi dokter, bukan enjiner.
Saya rasa, hal-hal sederhana inilah yang menjadikan kenapa perempuan akhirnya juga tersingkir dalam 'pasar pencarian pemimpin'. Perempuan tidak diberikan hak-haknya -seperti terdidik untuk menjadi pemimpin- bahkan kadang hak untuk memimpin dirinya sendiri-pun tidak diajarkan. Karena itu tidak bisa menyalahkan pula kenapa perempuan, pada akhirnya dianggap tidak memiliki kapabilitas sebagai pemimpin, karena memang mereka tidak pernah diajarkan untuk menjadi pempimpin, dan mereka (perempuan) selalu bayang-bayangi bahwa lelaki lah yang pantas memimpin.
Pada akhirnya, bagi saya pendidikanlah yang seharusnya bisa menjadikan seorang manusia -baik perempuan atau laki-laki- sebagai pemimpin, bukan pada gender yang dia miliki.
Kita mati, kehilangan empati. Saya, kamu, dia, mereka, dan ntah siapa. Mungkin sebenarnya sudah terkubur dalam sebuah kotak terpendam di dalam lautan dalam-dalam karena sibuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tahu, kita punya kesibukkan masing-masing, saya juga tahu kita punya kepentingan masing-masing. Tapi, hidup kita hanya sekali bukan, lalu kalau kita hidup hanya untuk diri kita sendiri, apa gunanya Tuhan menciptakan kita?
Saya merinding, bergidik, terperangah, hingga meneteskan air mata. Saya tak menyangka (baiklah, ini terlalu generalisasi) membaca opini-opini yang berseberangan hingga judgment yang dikeluarkan menghakimi pedagang Pocin dan mahasiswa UI. Saya tidak pernah ikut demo, tapi saya tak pernah menghakimi itu salah dan perbuatan saya benar. Saya merinding sekali membaca opini-opini dari mahasiswa lain yang menghakimi perbuatan teman-teman UI adalah perbuatan bodoh.
Kita, yang membaca tulisan ini, mungkin tak pernah tahu rasanya terusir dari pekerjaan yang menghidupi kita, dan jika kita tak punya uang, kita tinggal butuh mengadu pada orangtua, merengek agar rekening bertambah nominalnya. Tapi pernahkah kita mencoba meletakkan perasaan menjadi pedagang, yang kalau lahan kerja kalian ditutup tak tahu harus kemana. Tak tahu harus mengadu kemana. Jika besok hujan harus berteduh kemana. Anak sekolah harus bayar pake apa.
Coba teman bayangkan, jika diposisi mereka. Coba teman rasakan, apa yang akan-akan teman lakukan saat kehilangan mata pencarian satu-satunya.
Dan teman-teman mahasiswa, saya ulangi kerasa MAHA didepan siswa - yang memiliki porsi ilmu dan kekuasaan- lebih dipilih orang-orang itu untuk menjadi tempat mengadu. Karena mereka tak punya lagi tempat mengadu, saat para pemerintah bahkan sudah tutup kuping atas teriakkan dan tangis mereka. Memang susah sekali yah, mengeluarkan empati untuk orang lain. Sekedar empati. Rasa sedih yang menimpa orang lain. Seperti diam, tak usah berkomentar negatif, atau mencaci membuat ricuh suasana. Kemudian berasa paling pintar dan sudah melakukan segalanya. Iyah, kita gampang benar terprovokasi kemudian langsung menghakimi.
Para pedagang itu tidak butuh apa-apa, mereka cuman butuh bantuan untuk diperjuangkan hak-haknya. Lalu para kelas menengah ini, tiba-tiba dengan mulia kasih solusi, 'Cerdaskan pedagang sajalah daripada demo adik-adik mahasiswa.' atau, 'Gara-gara lu demo nih, jalan gue keganggu.' AH!
Kemudian belum selesai saya menahan rasa getir, saya tak sengaja membaca berita, seorang calon hakim agung, bernama Daming, mengeluarkan pernyataan yang membuat saya getir dan meringis, "yang diperkosa dengan yang memperkosa ini sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati." Saya kehilangan nafas, mencoba mencerna lagi, kemudian ada lanjutan beritanya, '... dilanjutkan dengan tawa para anggota DPR.' Ah, Bapak yang mulia di sana, dimanakah hati bapak-bapak sekalian. Tak pernah terpikirkah itu anakmu, istrimu, atau keluargamu yang diperkosa hingga mati. Tak pernah kau rasakan keluarga yang sedih menahun karena ditinggal mati.
Ya, Tuhan. Saya hidup di negeri macam apa?
Hidup kita sudah lama mati. Terbakar oleh kata-kata tinggi membangun negeri, sampai lupa tetangga yang tak lagi makan nasi.
Ilustrator dan Pendesain Kulit Muka: Ragillia Rachmayuni