Setelah lulus dari Fisika, sebenarnya saya sudah langsung melanjutkan tugas akhir saya di jurusan Fisika, sebagai bahan awal topik tesis. Tapi mendadak nafsu saya sama ilmu Fisika menjadi menurun, mungkin karena jenuh. Efek baru lulus tapi ga dikasih waktu bernafas, karena saya harus langsung mulai lagi dengan berbagai jurnal dan tiap minggu langsung lapor progress. Kalo dipikir-pikir kalo tekad saya bulat buat jadi researcher, sebenarnya itu bukan jadi beban. Karena stress, saya ngobrol panjang lebar sama dosen pembimbing saya waktu itu, tentang niat saya kepengen buat pindah jurusan, waktu itu saya mau lanjut ke Magister Bisnis Administrasi di kampus yang sama, tapi setelah dipikir-pikir saya kayaknya ga cocok jadi entrepeneur, saya juga ngbayangin hidup saya kayaknya bakalan habis di kantor. Akhirnya saya mikir-mikir ulang buat ke mana.
Waktu itu kebetulan saya lagi baca banyak buku-buku Bung Hatta, kemudian akhirnya memutuskan untuk nyoba kuliah di jurusan sosial, Ilmu Ekonomi. Waktu itu saya mikirnya, pasti seru banget karena kerjaan saya pasti baca-baca doang bukan nurunin rumus apalagi sampai modelling kayak kerjaan saya dulu di Fisika. Alasan lainnya adalah saya ng-fans berat sama Bu Sri Mulyani yang keceh badai itu. Akhirnya saya pilih Ilmu Ekonomi sebagai salah satu rumah dalam perjalanan hidup saya, hahaha.
Lucunya, waktu matrikulasi (yang khusus diadakan pagi mahasiswa-non-ekonomi seperti saya) pelajaran yang diberikan adalah matematika-ekonomi. What a lucky, itu mirip persis sama mata kuliah kalkulus dasar dan fisika-matematika, karena sama-sama berlandaskan ilmu matematika. Saya ga nyangka ternyata di Ekonomi ketemu lagi sama makhluk menggemaskan bernama matematika.
'Dibesarkan' dengan cara berfikir yang 'luas' di Fisika, sebenarnya ilmu-ilmu ini berhubungan. Walau sempat ngos-ngosan buat adaptasi sama mata kuliahnya, sebenarnya kuliah di Ilmu Ekonomi tidak jauh berbeda dengan kuliah di jurusan Fisika, yah namanya sama-sama belajar tentang bagaimana mengamati 'alam'. Yang lebih bikin kaget lagi, sewaktu saya mengambil mata kuliah berjudul Ekonomi Regional, ada dua persamaan yang saya ga asing di Fisika, yaitu gaya sentripetal-sentrifugal dan gaya gravitasi. Gaya-gaya tersebut digunakan untuk membahas fenomena ekonomi.
Tesis saya berhubungan dengan energi. Lebih lucunya lagi, saya diberi tema geothermal atau panas bumi oleh dosen pembimbing saya, di mana ini dulu sempat saya pelajari di Fisika (dan dosen pembimbing saya di fisika adalah seorang geophysicist yang fokus di ilmu panas bumi), what a coincidence! Walau saya memang lebih fokus di masalah ekonominya, tapi tetap saya akhirnya saya harus diskusi dengan teman-teman dari kampus lama buat nyari tahu banyak hal tentang energi panas bumi.
Dua tahun kebelakang ini bener-bener jadi hal yang menyenangkan buat saya selama kuliah di Ekonomi. Selain bener-bener menambah wawasan, -mungkin karena dasar ilmu sosial- saya jadi ngeliat ilmu yang lebih aplikatif buat hidup. Ngeliat harga cabe naek, saya manggut-manggut. Liat economic's growth turun, manggut-manggut lagi -sok ngerti alesan dibalik itu, haha. Bener-bener ga abstrak kayak Fisika, walau hubungan antar ilmu itu kerasa bangeeeeeeeeeet.
Satu hal yang saya bikin saya sadar selama kuliah ekonomi adalah, baik ilmu sosial maupun ilmu sains itu syulit. Makanya saya makin ga ngerti kenapa muncul trademark kalo lo masuk IPS artinya lo itu ga pinter-pinter amat lah -karena ga keterima di IPA-. Serius kuliah di Ekonomi bikin saya makin sadar kalo semua ilmu it butuh dipahami, ga cuman dihafal doang. Karena semua ilmu itu, baik ilmu sosial maupun ilmu sains itu butuh kerja banget buat belajarnya dan setiap ilmu itu punya hubungannya tersendiri antar ilmu. Kalo dipikir-pikir, pantes rata-rata orang jaman dulu pasti ga cuman menguasai satu ilmu doang, like my favorite scientist ever, Einstein, yang jago di banyak bidang.
Kalo diingat-ingat lucu juga, waktu saya pindah dari Bandung ke Depok, teman-teman saya berpesan nanti kalau sesampai di Depok, jangan berhenti untuk tetap berada di dunia pendidikan, kalau bisa bikin tetap bikin sekolah sendiri, ‘sayang ilmunya…’ kata mereka beramai-ramai. Tapi apa daya, beda suasana dan juga merasa beda pergaulan, sesampai di Depok saya cuman pengen rajin kuliah, lulus dan kerja dengan baik. Organisasi itu -bagi saya waktu itu- cuman masa indah pada waktu kuliah sarjana. Siapa sangka, manusia berencana, Tuhan juga yang menentukan. Sesampai di Depok, saya berkenalan dengan seorang abang bernama Akhyar, yang mengetahui saya memiliki khasrat di dunia pendidikan, kemudian dia mengenalkan saya kepada teman yang juga memiliki khasrat yang sama, namanya Tery.
Singkat cerita, ngobrol ngalur ngidul, pada hari pertama saya berkenalan dengan Tery kami memutuskan untuk membuat semacam tempat belajar untuk anak-anak di sekitar rumah Tery yang tepatnya berada di Kapuk, kami memilih untuk fokus di pendidikan anak usia dini serta taman baca -kebetulan Tery dan Bang Akhyar merupakan anggota Langit Sastra, komunitas yang berkegiatan di dunia sastra-. Dua bulan kami bertiga melakukan persiapan yang singkat dan padat, mulai dari berinteraksi dengan ketua RT, berkenalan dengan ibu-ibu setempat, menyiapkan materi, visi-misi sekolah, dan tidak ketinggalan mencari calon pengajar tempat sekolah kami. Kenapa kami memilih pendidikan anak usia dini?
Sebenarnya hal yang pertama kami sepakati tentang ini adalah karena di lingkungan rumah Tery banyak sekali anak-anak berusia 1-6 tahun. Banyak sekali. Dengan melakukan studi tentang kebutuhan para orangtua di Kapuk, kami meyakini bahwa dengan minimnya tempat belajar bagi-bagi anak usia dini, sekolah kami bisa menjadi angin segar di lingkungan tersebut. Sekolah kami, kami beri nama Sekolah Bermain Matahari. Mirip-mirip dengan saudaranya di Bandung, yang selama setahun sebelumnya sempat saya berkegiatan di sana, namanya Sekolah Bermain Balon Hijau.
Selain karena studi tentang kebutuhan masyarakat di daerah Kapuk. Kami juga melihat masalah pendidikan secara general, di mana saya melihat ternyata kebutuhan akan pendidikan untuk anak usia dini di Indonesia sangat 'urgent'. Di mana, anak-anak usia 0-6 tahun, atau disebut masa golden age, harus dididik dengan tepat, agar mampu menjadikan manusia yang berkarakter di masa depan. Dengan latar belakang pendidikan Tery dan Bang Akhyar yang merupakan mahasiswa psikologi, saya melihat Sekolah Bermain Matahari ini bisa menjadi laboratorium mini untuk melihat model pendidikan anak usia dini yang baik itu seperti apa. Yang kami harapkan outputnya kelak adalah model manusia yang berkarakter baik yaitu yang berakhlak baik, cerdas, dan peka terhadap lingkungannya, -yaitu sebaik-baiknya manusia-.
Antusias yang baik sekali waktu kami pertama kali mengadakan open recruitment untuk pengajar, belum lagi latar belakang pengajar yang benar-benar beragam dimulai dari psikologi, kesehatan masyarakat, keperawatan, ekonomi, farmasi, bahkan informatika dan arsitektur.
Sekolah Bermain Matahari menjadi benar-benar menyenangkan.
Kami bisa meracik ilmu hingga metode yang tepat untuk anak-anak didik kami secara bersama-sama dengan beragam kelimuan, teman-teman kami -pada akhirnya- bisa mengaplikasikan keilmuannya secara nyata pada sekolah kami.
Belum lagi, selain sibuk dengan pendidikan anak usia dini, perhatian kami terhadap ibu-ibunya juga sama besarnya. Bagaimana tidak, anak-anak didik kami menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama ibunya dibandingkan kami. Agar mereka bisa mendidik anaknya dengan baik, kami juga harus mengedukasi ibu-ibu kami terkait banyak hal urusan tentang rumah tangga. Karena kami bukan ahlinya -apalagi kami banyak yang belum menikah-, kami tentu mengundang pakar-pakarnya seperti dosen-dosen Universitas Indonesia dan beberapa pembicara yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Mulai dari psikologi anak, makanan sehat, obat herbal, sampai masalah keuangan dalam rumah tangga coba kami bantu berikan. Walau hasilnya, memang belum terasa, tapi kami benar-benar melihat antusias yang luar biasa dari orangtua anak didik kami.
Lebih dari setahun sekolah kami ada, melalui tulisan ini saya ingin mengucapkan terimakasih untuk semua yang telah berpartisipasi untuk keberjalanan sekolah kami -kita-. Saat ini kami mungkin memang tidak menawarkan masa depan yang baik untuk mereka, tapi yang pasti kami semua memiliki cinta agar sekolah ini tetap ada untuk membenahi pendidikan di negara ini bersama-sama.
Hormat saya,
Nayasari Aissa
Kepala Sekolah Bermain Matahari 2012-2014