Pemimpin Perempuan

Sebagai perempuan yang dilahirkan sebagai anak pertama, (mungkin) menjadikan saya sedikit koleris.
Apalagi sedari kecil saya terdidik untuk memimpin, dimulai dari menjadi kakak bagi adik perempuan saya satu-satunya, sewaktu SD dan SMP sering diamanahkan sebagai ketua kelas, bahkan pemimpin upacara di upacara bendera. Sewaktu SD, SMP, dan SMA, bahkan kepala sekolah saya ketiga-tiganya adalah perempuan, dan mereka semua terlihat stunning, apalagi kepala sekolah SMA saya. Karena itu, dimata saya sah-sah saja bagi saya perempuan memimpin.

Dan saya masih ingat betul waktu Megawati naik posisi menjadi Presiden RI. Waktu, itu saya makin yakin, bahwa perempuan bisa memiliki proporsi hak yang sama dengan laki-laki termasuk sebagai pemimpin. Tapi saya bukan penggemar Megawati, saya bahkan tak sepakat jika beliau memimpin negara ini, bukan karena kodrat dia sebagai perempuan -lemah, cengeng, atau emosional-, tapi karena saya tak melihat kapabilitas dia bisa memimpin negara ini dengan baik.

Beberapa waktu yang lalu, bahkan di Tempo bahkan membahas tentang ibu Tri Risma Harini yang sukses memimpin kota Surabaya sebagai walikota. Hal paling awesome yang saya lihat dari apa yang dia lakukan dia bisa mengubah Dolly dari tempat yang 'menakutkan' menjadi ruang-ruang baca, dan Surabaya sukses memiliki taman-taman hijau yang membuat Surabaya bahkan konon tidak segersang yang dulu lagi.

Makanya, saya sering tak sepaham dan tak masuk akal saya kenapa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin di suatu posisi tertentu, dengan alasan yang juga tak masuk akal, misalnya hormon. Banyak tulisan-tulisan atau kalimat yang pada akhirnya memojokkan posisi perempuan di masyarakat. Misal, karena perempuan memiliki siklus menstruasi di setiap bulannya yang menjadikan emosi tak stabil, hal ini dijadikan senjata bagi beberapa orang untuk menjatuhkan posisi perempuan. Bagi saya pribadi, emosi stabil atau tak stabil itu bisa dikembalikan ke individu masing-masing, saya yakin tiap-tiap perempuan di muka bumi ini sebenarnya bisa memanajemen emosinya dengan baik.

Perempuan juga kadang dianggap tidak terlalu pintar, dan tak punya kapabilitas untuk memimpin, lemah, cengeng, dan sebagainya. Padahal dari beberapa jurnal penelitian yang saya, kenapa perempuan dianggap kurang pintar dan punya kapabilitas dibidang kepemimpinan, dikarenakan mereka tidak dididik untuk menjadi pemimpin. Stereotip tentang perempuan yang kodratnya di dapur dan tidak perlu menempuh pendidikan yang baik, masih terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Banyak perempuan tidak diberikan peluang untuk menempuh pendidikan yang sama baiknya dengan laki-laki. Dan banyak pula steorotip bahwa perempuan yang menempuh pendidikan tinggi (beberapa) diwajibkan untuk masuk ke jurusan tertentu, misal perempuan sebaiknya jadi dokter, bukan enjiner.

Saya rasa, hal-hal sederhana inilah yang menjadikan kenapa perempuan akhirnya juga tersingkir dalam 'pasar pencarian pemimpin'. Perempuan tidak diberikan hak-haknya -seperti terdidik untuk menjadi pemimpin- bahkan kadang hak untuk memimpin dirinya sendiri-pun tidak diajarkan. Karena itu tidak bisa menyalahkan pula kenapa perempuan, pada akhirnya dianggap tidak memiliki kapabilitas sebagai pemimpin, karena memang mereka tidak pernah diajarkan untuk menjadi pempimpin, dan mereka (perempuan) selalu bayang-bayangi bahwa lelaki lah yang pantas memimpin.

Pada akhirnya, bagi saya pendidikanlah yang seharusnya bisa menjadikan seorang manusia -baik perempuan atau laki-laki- sebagai pemimpin, bukan pada gender yang dia miliki.




0 komentar:

top