empati.

just try to put yourself under other people's shoes

 Kita mati, kehilangan empati. Saya, kamu, dia, mereka, dan ntah siapa. Mungkin sebenarnya sudah terkubur dalam sebuah kotak terpendam di dalam lautan dalam-dalam karena sibuk menyelamatkan diri sendiri. Saya tahu, kita punya kesibukkan masing-masing, saya juga tahu kita punya kepentingan masing-masing. Tapi, hidup kita hanya sekali bukan, lalu kalau kita hidup hanya untuk diri kita sendiri, apa gunanya Tuhan menciptakan kita?

 Saya merinding, bergidik, terperangah, hingga meneteskan air mata. Saya tak menyangka (baiklah, ini terlalu generalisasi) membaca opini-opini yang berseberangan hingga judgment yang dikeluarkan menghakimi pedagang Pocin dan mahasiswa UI. Saya tidak pernah ikut demo, tapi saya tak pernah menghakimi itu salah dan perbuatan saya benar. Saya merinding sekali membaca opini-opini dari mahasiswa lain yang menghakimi perbuatan teman-teman UI adalah perbuatan bodoh.

 Kita, yang membaca tulisan ini, mungkin tak pernah tahu rasanya terusir dari pekerjaan yang menghidupi kita, dan jika kita tak punya uang, kita tinggal butuh mengadu pada orangtua, merengek agar rekening bertambah nominalnya. Tapi pernahkah kita mencoba meletakkan perasaan menjadi pedagang, yang kalau lahan kerja kalian ditutup tak tahu harus kemana. Tak tahu harus mengadu kemana. Jika besok hujan harus berteduh kemana. Anak sekolah harus bayar pake apa.

 Coba teman bayangkan, jika diposisi mereka. Coba teman rasakan, apa yang akan-akan teman lakukan saat kehilangan mata pencarian satu-satunya.

 Dan teman-teman mahasiswa, saya ulangi kerasa MAHA didepan siswa - yang memiliki porsi ilmu dan kekuasaan- lebih dipilih orang-orang itu untuk menjadi tempat mengadu. Karena mereka tak punya lagi tempat mengadu, saat para pemerintah bahkan sudah tutup kuping atas teriakkan dan tangis mereka. Memang susah sekali yah, mengeluarkan empati untuk orang lain. Sekedar empati. Rasa sedih yang menimpa orang lain. Seperti diam, tak usah berkomentar negatif, atau mencaci membuat ricuh suasana. Kemudian berasa paling pintar dan sudah melakukan segalanya. Iyah, kita gampang benar terprovokasi kemudian langsung menghakimi.

 Para pedagang itu tidak butuh apa-apa, mereka cuman butuh bantuan untuk diperjuangkan hak-haknya. Lalu para kelas menengah ini, tiba-tiba dengan mulia kasih solusi, 'Cerdaskan pedagang sajalah daripada demo adik-adik mahasiswa.' atau, 'Gara-gara lu demo nih, jalan gue keganggu.' AH!

 Kemudian belum selesai saya menahan rasa getir, saya tak sengaja membaca berita, seorang calon hakim agung, bernama Daming, mengeluarkan pernyataan yang membuat saya getir dan meringis, "yang diperkosa dengan yang memperkosa ini sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati." Saya kehilangan nafas, mencoba mencerna lagi, kemudian ada lanjutan beritanya, '... dilanjutkan dengan tawa para anggota DPR.' Ah, Bapak yang mulia di sana, dimanakah hati bapak-bapak sekalian. Tak pernah terpikirkah itu anakmu, istrimu, atau keluargamu yang diperkosa hingga mati. Tak pernah kau rasakan keluarga yang sedih menahun karena ditinggal mati.

 Ya, Tuhan. Saya hidup di negeri macam apa?

 Hidup kita sudah lama mati. Terbakar oleh kata-kata tinggi membangun negeri, sampai lupa tetangga yang tak lagi makan nasi.

review Cinta Di Ujung Jari 

 Cinta Di Ujung Jari menyuguhkan kisah cinta yang siap hidang. Cinta yang sudah ada di ujung jari dan kita tinggal duduk tenang menikmatinya. Seolah seluruh cinta di seluruh dunia dirangkum dan siap untuk ditelan. Tulisan Nayasari yang lugas dan tulisan Akhyar yang mengajak kita untuk merenung, merupakan kombinasi yang menarik dari buku ini. - Yunus Kuntawiaji

 Diam-diam saya selalu suka dengan tulisan-tulisan mereka berdua. Menggugah. Memberikan suatu pandangan yang berbeda tentang apa saja. Kisah “Arloji” walau sebelumnya sudah pernah saya baca, entah mengapa kembali hidup lagi memainkan hati, begitu juga dengan kisah “Naira-Utara”. Itulah kekuatan buku ini, bermain dengan hati. - Ana Monica Rufisa

 Cinta di Ujung Jari mengingatkan saya tentang hal itu, tentang salah satu hakikat cinta, bahwa ia tak hanya membuat kita berapi-api, lalu rela melakukan hal-hal besar, tapi terkadang cinta juga membuat dahi dan kening kita berkerut-kerut, tak paham tak mengerti. - Achmad Lutfi

 Naya dengan cerita Naira dan Utaranya yang sampai detik ini saya ragukan kefiksiannya, dengan gaya bahasa, sudut pandang ,dan definisinya sendiri tentang cinta dalam cerita tersebut. Kemudian Akhyar dengan kekhasannya pula bercerita tentang cinta dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan beberapa kisah cinta yang kadang aneh ditulis disini. Tapi itulah sudut pandang. - Kurniawan Gunadi 

 Buku bisa pesan di cintadiujungjari@gmail.com dengan format Subject : Pesan_Nama Details 

Penulis: Muhammad Akhyar & Nayasari Aissa
Ilustrator dan Pendesain Kulit Muka: Ragillia Rachmayuni 
Foto: Pravitasari Ilustrator Dalam: Sri Suryani 
Penata Letak: Dian Kusumawardhani 
Date Published: Januari 2013 
Type: SOFT COVER 
No. of Pages: 120 halaman 
Penerbit: Langit Sastra Harga Rp. 60.000,- (diluar ongkos kirim), seluruh keuntungan penjualan diberikan untuk @SBMatahari. 

Sila dipesan, terimakasih :)
top