dua desember dua ribu dua belas


karena hidup itu tentang memilih, saya selalu percaya ini. dan saya, seharusnya, bersyukur karena selalu dihadapkan pada pilihan, setidaknya.

dan setelah waktu itu saya telah memutuskan hingga sejauh ini. ah iyah, jika saya boleh jujur, maka, tentu perjalanan ini tidaklah mudah. berapa banyak hal yang akan kita korbankan bersama. hidup saya, hidup kamu, untuk hidup kita nanti. 

saya, tentu, sejauh ini (lagi) sudah mengalami perasaan yang turun-naik tak menentu. baikkah ini? benarkah ini? inikah yang terakhir? ah iyah, Tuhan jago betul dalam urusan membolak-balikkan perasaan. tidak, saya tentu tidak ingin menyalahkan Tuhan atas kuasaNya, saya hanya menjadikan Tuhan sebagai alibi atas kelemahan saya, atas ketidak-tahuan saya, atas perasaan gelap tentang masa depan. salah kah saya (Tuhan)?

di dekatnya aku lebih tenang, bersamanya jalan lebih terang.

saya tak tahu ini benar atau salah, tapi setelah saya berbincang banyak padaNya, dan setelah menimbang ini dan itu. dan terus meyakinkan pada diri -untuk jalan yang kabur satu ini- saya hanya ingin percaya padaNya, saya juga ingin berbaik-sangka padaNya, bahwa Dia akan menuntun saya dan kamu (kita) pada jalan terbaik dariNya,

iyah, jika memang ini adalah pilihan dari-Nya. 

untuk kamu - masa depan.

Pertanyaan Tentang Tuhan


Tiba-tiba saya menyadari, bahwa saya sangat kecil dan lemah sekali jika dibandingkan dengan kekuasaanNya. Sungguh, kalau dipikirkan kembali apalah artinya saya, tanpaNya.

Sayajuga menyadari bahwa ternyata saya tidak ada kuasa apapun terhadap diri saya sendiri, atas keberjalanan semua hal dalam hidup. Saat saya sedang rapuh dan terjatuh, saya butuh 'sesuatu' yang menyokong saya agar tetap bangkit lagi. Dan saya tidak menemukannya kepada siapapun selain Tuhan. Saya seringsekali menangis, dan diam-diam saya berbicara denganNya dengan bahasa yang hanya dipahami 'kami' berdua. Entah mengapa saya menjadi lebih aman, lebih tenang. Ah iyah saya lupa, bahwa kita ini adalah makhluk sosial, tidak akan benar-benar bisa mengatasi kesepian dan kesendirian. Sekalipun disaat kita benar-benar merasa ingin sendiri, kita tetap ingin ditemani.

Benar kalau ada yang mengatakan, bahwa Tuhan, diciptakan 'manusia' untuk menyatakan, bahwa sebenarnya kita ini seringkali berada dalam ketiadaan dan kekosongan. Tapi di sanalah Tuhan bersemayam.

Tuhan, membuat saya aman, nyaman dan tidak merasa sendirian. Ada tempat yang mampu diandalkan walau Dia tidak terlihat. Bahwa hidup ini adalah tentang kepercayaan. Saya menuhankan Dia, yang tidak terlihat dengan kasat mata, karena saya butuh pegangan dan 'sesuatu' yang saya percayai itu.

Tapi kepercayaan, juga, berhubungan dengan pertanyaan. Bagi saya, iman itu adalah sebuah pertanyaan. Begitu juga cinta adalah sebuah pertanyaan. Iman dan cinta saya pada Tuhan, seringkali menjadi pertanyaan besar dan terus menerus yang tidak pernah selesai. Tapi bagi saya itulah kuncinya. Semakin saya mempertanyakan, saya  merasa makin 'menemukannya' dengan cara yang berbeda. Saya malah khawatir, jika suatu saat saya tidak bertanya-tanya lagi tentang Dia, jangan-jangan saya sudah membunuhNya dari hati saya, hingga Dia larut dan menggenang lalu hilang.

Zakaria

Saya mau cerita dulu, saya suka suka banget dengan sebuat kalimat penuh pasrah dari seorang Nabi kita bernama Zakaria, isinya begini,

'… Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu ya Tuhanku..'

Kalau bagi saya, doa ini terlampau bagus sekali (tentu saja karena yang berdoa itu adalah Nabi), di sini posisinya Zakaria sedang mengadu, meratap betapa dia galau karena belum memiliki keturunan untuk meneruskan tugasnya. Saat itu umur Zakaria (kalau tidak salah) hampir menyentuh 100 tahun #cmiiw. Berarti selama 100 tahun sebelumnya, dia sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya, sudah banyak yang dilalui, tapi tak pernah sedikitpun dia kecewa atas doanya, kepada Tuhannya. Di sini tersirat juga rasa syukur yang begitu besar, saya memaknainya rasa syukur tentang apapun yang telah dia lalui atas apapun yang terjadi pada seratus tahun ke belakang.

Dan jika diserap lagi maknanya (menurut saya, semoga Allah mengampuni saya), ada begitu besar kepercayaannya kepada Tuhan penciptaannya. Sungguh mulia Zakaria AS, nabi kita semua. 
Hidup ini dimulai dengan kata percaya. Muhammad Saw itu memiliki julukkan yang 'terpercaya'. Dan Khadijah adalah orang yang paling mempercayai beliau, untuk mempercayai tentang Tuhan yang diceritakan Nabi Saw. Semuanya dimulai dengan kata percaya. Lalu kita ikut mempercaya Muhammad atas pesan-pesan dari Tuhan yang dibawanya. 

Menurut hadits Arba'in, tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Kalau dari pandangan saya Islam (dengan rukun Islamnya) dan Iman (dengan rukun imannya), adalah saling melengkapi. Islam artinya kita melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh Tuhan, syahadat, shalat, puasa, bayar zakat, dan naik haji bila mampu, tapi takkan lengkap jika kita tidak beriman kepada Tuhan, Malaikat-malaikatNya, RasulNya, KitabNya, Hari AkhirNya, dan ketentuan-ketentuan tetap (Qada dan Qadar-Nya). Kita takkan bisa berIslam saja, tanpa beriman, dan takkan sempurna jika berIman tanpa berIslam. Kemudian tahap ketaatan paling tinggi adalah Ihsan, percaya bahwa dia melihat segala yang kita lakukan. 

Semuanya dilandasi dengan rasa percaya. Zakaria percaya kepada Tuhan akan dikabulkan doaNya. Dan Muhammad butuh kepercayaan umat agar mampu berdakwah dengan baik, dan dengan baiknya pula Tuhan mengirimkan Khadijah padanya. Dan semua ini karena sebuah hal bernama takdir.

Takdir yang telah ditetapkan Tuhan saat kita masih berbentuk nutfah di dalam rahim, yang kemudian Tuhan dengan sigapnya menuliskan di Lauhul Mahfuz pada data-data kita. Luar biasa. Bukan Tuhan tentunya jika tak mampu mengatur segala hal dengan sedemikian sempurna.

Dari sini, saya mau menarik benang merah dari tulisan saya. Zakaria dalam doanya, ada kepasrahan, ada rasa syukur yang begitu besar, ada rasa kepercayaan akan takdir-takdir selanjutnya dan juga sebelumnya. Dan Zakaria AS, sukses membuat saya berfikir panjang saat membaca doa yang dia panjatkan. Percaya akan takdir yang telah dibuat Tuhan untuk kita semua. Einstein bilang, Tuhan tidak sedang bermain dadu dalam menciptakan dunia ini, termasuk segala isinya. Tentu mereka yang mengaku muslim harus percaya, bahwa takdir utama kita diutus untuk hidup di dunia sesuai dengan perintahnya yaitu,

'... Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu.'

Sesederhana itu. Dia tidak menciptakan manusia, kecuali untuk menyembahNya, yah tentunya pengertian ayat ini akan berlanjut pada penjelasan yang panjang, dan tidak akan saya tuliskan di sini.

Sungguh, saya menuliskan ini karena terlalu lama bergemuruh di dalam otak dan harus segera dilahirkan. Kepada Allah saya mohon ampun. Jika ada kritik sila di sampaikan. Wallahu a’lam bish shawabi ~
10 Oktober 2012

Jadi begini. Ntah mengapa beberapa hari ini saya terus-terusan memikirkanmu, tidak secara spesifik memikirkanmu, karena saya benar-benar tidak tahu siapa kamu, dimana kamu, dan sedang apa kamu (for reader’s information, saya sedang tidak menyanyikan lagu Kangen Band, sungguh). Yang pasti saya benar-benar clueless tentang kamu, karena itu saya sedikit berdebar-debar jika membayangkan tentangmu.

Saya membayangkan, jika suatu saat kita, ehm, -sebut saja bertemu karena memang sudah takdirNya yang membawa kita berdua untuk bertemu- apakah saya sudah benar-benar siap untuk bertemu dengan kamu (dan begitu juga kamu), kemudian -dengan sedikit geli saya harus mengatakan- menjalin cinta dan kasih yang juga sudah ditakdirkanNya kepada kita berdua.

Kamu, mungkin saja lelaki yang sudah saya kenal sejak lama tapi tak pernah saya perhatikan dengan seksama. Atau bisa saja salah satu dari sahabat-sahabat lelaki (gila) saya saat ini -tapi sungguh semoga tidak. Atau kamu adalah musuh politik saya sewaktu menjadi aktivis kampus. Atau mungkin kamu adalah lelaki yang pernah membaca buku yang sama di sebuah toko buku yang saya dan kamu kunjungi. Atau malah bisa jadi kita tak pernah mengenal sama sekali, tak pernah berada di ruang dan waktu yang sama (bisa saja saya di Selatan dan kamu di Utara di arah mata angin milik kita berdua) tapi Tuhan mengikat kita dengan seutas benang merah yang tak pernah kita ketahui.

Kamu biasa siapa saja. Dan saya tidak akan pernah tahu sampai kita benar-benar bertemu, kemudian kamu datang ke ayah saya dengan segala keberanian yang kamu miliki.

Jika saya egois, tentu saya akan berdoa pada Tuhan bahwa kamu harus berambut gondrong, hitam manis, rapih dengan kemeja dan celana jeansmu, lalu rokok Gudang Garam, dan tidak ketinggalan motor Tiger merahmu. Tapi saya tidak hanya ingin satu-dua hari bersamamu, saya ingin berhari-hari menghabiskan hidup denganmu. Karena saya rasa semua kriteria yang saya sebutkan di atas, saya tak yakin bisa membawa kamu, saya, dan anak-anak kita ke surga. Tapi saya janji, saya akan selalu berdoa semoga kamu bisa menjadi imam yang baik bagi saya dan ayah yang amanah bagi anak-anak kita kelak.

Karena hidup saya nantipun, tidak akan jadi hidup saya sendiri lagi. Hidup saya akan jadi bagian hidupmu, dan begitu sebaliknya. Dan hidup kita akan menjadi hidup anak-anak kita kelak, karena hidup mereka adalah bagian dari hidup kita.

Saya tahu terlalu picisan saya menuliskan ini untuk kamu yang bahkan ntah siapa. Tapi sungguh saya tidak tahu lagi harus berbuat apa (selain berdoa dan mengadu padaNya). Anggap saja ini bentuk ke(tidak)sabaran saya menunggu makin didekatkannya benang-benang penghubung kita berdua oleh-Nya.

Untuk kamu -yang bisa siapa saja-, selamat malam (sungguh semoga segera kita berada pada dimensi -ruang dan waktu- yang sama, aamiin).

Menikah

Beberapa minggu yang lalu, waktu saya ngobrol panjang dengan Kak Kaca, banyak hal yang menyadarkan saya tentang hal bernama ‘menikah’. Pada saat saya berumur 19 tahun, itu sekitar 4 tahun yang lalu (astaga tua banget gue cuy!), saya sebenarnya bercita-cita menikah di umur 20 tahun, dan itu tanpa persiapan dan juga tanpa usaha untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Saya pengen nikah, biar ada ‘temen halal’ yang bisa diajak kemana saja dan kapan saja, tanpa perlu risih. Dan ternyata, saya belum berhasil mewujudkan mimpi saya yang waktu itu.

Setahun yang lalu, saya bercita-cita kembali, ‘harus banget nikah tahun 2012’. Alasannya? Saya mau punya temen hidup satu visi-dan-misi yang mampu menemani saya untuk mencapai mimpi-mimpi saya, dan tentunya menjaga ‘segala’ yang telah saya miliki saat ini, termasuk stabilitas iman. Suami itu menurut saya, adalah orang yang paling tepat (setelah ibu) yang mampu menjaga stabilitas iman yang sering naik-turun. Apalagi, kehidupan pasca-kuliah itu, mengerikan (kata orang-orang), yang pasti kita kehilangan teman-teman dekat yang dulu selalu ‘menjaga’ kita dengan aman. Belum lagi, bagi saya, pasca-kuliah itu, pencarian jati diri yang sesungguhnya dimulai, idealisme-idealisme masa menjadi mahasiswa dulu mulai diuji kesungguhannya, istiqomah atau tidak diri kita ini atas apa yang sudah dibangun dulu. And, for sure, we need life-long-partner to remind us, walking beside us, together and forever.

Setelah mengobrol banyak dengan beberapa orang tentang menikah. Saya menarik kesimpulan bagi saya sendiri, menikah itu adalah keberuntungan, dimana kesiapan bertemu dengan kesempatan, dan keberuntungan itu yang kita buat sendiri. Menikah itu bukan lagi jadi sekedar kebutuhan, dimana kita butuh life-long-partner hanya sekedar untuk mengingatkan kita bangun pagi, ngingetin tahajud, shalat, puasa, ngaji, dan berlaku baik-baik, menikah tidak sesederhana itu.

Kitalah, diri kita sendiri yang seharusnya bisa konsisten untuk melakukan itu semua. Saya tidak ingin menikah untuk berubah jadi lebih baik, dan saya juga nggak kepingin memperbaiki diri agar bisa menikah. Saya mau jadi manusia yang baik -sesuai dengan keinginan Tuhan saya- yah untuk diri saya sendiri, bukan untuk siapa-siapa dan bukan untuk apa-apa.

Tahun lalu saya merasa bersalah sekali dengan diri saya, dan sulit sekali memaafkannya. Dan (bodohnya) saya pikir dengan menikah bisa menyelesaikan masalah saya. Karena, saya tidak akan galau lagi. Karena saya punya temen ngobrol sepanjang malam. Karena saya akan mencari orang yang juga gemar membaca buku, biar saya punya teman diskusi sepanjang waktu. Tapi bukan itu, point-nya ternyata. Kak Kaca mengingatkan saya, dia bilang, ‘Kalau kamu belum ‘selesai’ dengan dirimu sendiri. Bagaimana mungkin menambahkan orang lain, Dek.’ That’s the point. Dan saya tersadar, benar-benar tersadar. Saya harus selesai urusan dengan diri saya sendiri. Saya tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

Menikah juga buka perlombaan. Waktu saya tahu sahabat baik saya menikah tahun lalu, ada perasaan ‘gue juga mauuu tahun ini’. Tahun ini bahkan, orang-orang terdekat saya malah mulai menikah satu-per-satu. Takut ditinggal? Pasti! Mungkin kalau di arena balap, kita boleh saling mendahului. Dan menikah tidak terjadi di arena balapan. Ini masalah nikah! Masalah menghabiskan sisa 2/3 umur kita, dan jangan sampai gelap mata karena liat orang lain bisa duluan, lalu kamu jadi tergesa-gesa dan ingin mendahului. Karena setiap orang, sudah punya takdirnya masing-masing, and the importan things that you must remember is, you’ll have your own fate. Your prince charming, will come at the right time and with right reason.

Saya selalu berangan-angan, life-long-partner saya ini seperti apa sih nantinya. Setiap perempuan (begitu juga laki-laki) pasti punya ‘checklists’-nya sendiri. Ada yang ingin ganteng, tinggi, jago basket (anak SMA banget ini, haha), mantan aktivis kampus, atau hobi baca buku. Tapi, kamu yakin, orang-orang yang sesuai dengan checklist ini adalah yang tepat bagi kamu? Kadang mereka yang dikirimkan oleh Tuhan -dan berbeda jauh dengan ‘checklists’ milik kamu ini- adalah yang paling tepat kamu. God always knows what you need, guys. Tapi walau, Tuhan Maha Baik dan Maha Tahu Segalanya atas kebutuhan kita. Saya percaya Dia tidak egois, Dia adalah tempat curahan terbaik. Dia tahu, tapi Dia menunggu. Dia tahu yang terbaik buat kita, tapi Dia menunggu kita untuk memohon agar makin meyakinkan Dia bahwa kita percaya dengan pilihan terbaiknya. Dan doa akan selalu jadi kuncinya.

Saya ga tau, prince charming saya ini datang kapan. Hari ini, besok, bulan depan, tahun depan, atau tiga tahun lagi. Kayak saya bilang di atas, menikah itu salah satu bentuk keberuntungan, dia datang saat kesiapan bertemu dengan kesempatan. Jadi saya cuman butuh siap-siap (dan tidak berhenti berdoa), jika nanti kalau kesempatannya udah datang, i can face it!

‘Getting married isn’t going to solve our inabilities to wake up for Fajr or get up for qiyam. We need to develop our own selves without expecting marriage to somehow magically change our lives. Marriage can be a great tool of self-improvement and can help us change for the best, with Allah’s will. Marriage is amongst the greatest blessings that Allah (swt) can bestow on a person; and the creation of a family, and taking care of that family, is amongst the greatest acts of worship. But if we are not personally working on ourselves now, how can we expect that it will be easier with the additional baggage of another individual who is also imperfect?’ - Maryam Amirebrahimi 

Terimakasih yang merelakan waktunya untuk membaca tulisan ini, selamat pagi dan semoga kebaikkan selalu bersama dengan kita! Aamiin!

Tentang Al Quran

Bismillah.

Bacalah dengan menyebut nama Tuhan yang menciptakanmu.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari sabtu dan minggu, saya datang ke dua buah seminar (atau majelis ta'lim mungkin yah) yang berbeda, tetapi kedua-duanya sama-sama membahas tentang Al Quran. Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit berbagi ilmu apa saja yang saya dapat pada kedua hari tersebut.

Hari Pertama.

Acara ini sebenarnya berupa seminar keluarga, dengan judul acara 'Membangun Keluarga Generasi Qur'ani' yang diadakan oleh teman-teman PESIAR UI di Masjid Ukhuwah Islamiyah jam 9 pagi hingga menjelang zuhur. Ada lima pembicara, Ust. Budi Dharmawan dan anaknya (mereka adalah suami dan putera alm. Ustadzah Yoyoh Yusroh), Ustadzah Aan Rohanah, Wirdah Salamah Ulya (hafidzah dari Ust. Yusuf Mansyur), dan Faris Jihady (Hafidzh).

Dari judulnya, kita pasti sudah menebak bukan isi acara ini keseluruhan, apalagi pembicaranya yang kesemuanya adalah penghafal Al Quran.

Pada obrolan singkat ini, saya merasa mendapatkan angin segar betapa penting seorang muslim mengerti kitabnya dengan baik dan benar. Apalagi bagi seorang muslim, AL Quran dan Sunnah Nabi adalah pedoman paling utama untuk para muslim.

Pada acara ini, para pembicara masing-masing memaparkan tentang latar-belakang kenapa perlu seorang muslim menghafal Al Quran, dan mereka juga berbagi tips agar  kita dimudahkan dalam mempelajari AL Quran. Pembicara awal adalah Ust. Budi yang merupakan suami alm. Yoyoh Yusroh, yang menceritakan bahwa pentingnya sebuah keluarga yang ingin menjadi generasi sebaik generasi para sahabat Rasul saw, yang dimulai dari membangun keluarga sendiri. Karena, sebuah peradaban pasti terdiri dari keluarga-keluarga kecil di dalamnya. Jika ingin menghasilkan generasi yang mencintai, mengamalkan, dan menghafal Al Quran tentu harus dimulai dari keluarga sendiri. Dan untuk memulai membangun keluarga yang baik adalah dengan mulai mencari calon ibu/ayah yang baik bagi anak-anak kita kelak.

Yang paling menyentuh adalah saat putri Ust. Yusuf Mansyur bercerita tentang bagaimana dia memulai untuk menjadi seorang hafizah. Pada saat dia berumur 8 tahun, dia pernah bermimpi didatangi oleh Rasulullah saw dan Abu Bakar r.a, intinya, Rasulullah berpesan, jangan mudah menyerah untuk menghafal Al Quran karena Allah pasti memudahkan umatNya yang ingin menghafal. Wirdah juga memberikan tips bagi mereka yang ingin menghafal yaitu, menjaga pandangan dan menggunakan hijab. Subhanallah, di umur yang baru menginjak 11 tahun, sudah menjadi seorang hafizah, pernah bertemu Rasulullah bahkan dibacakan surah Muhammad. Rasanya waktu mendengar cerita ini, badan saya merinding dan mengharu biru hingga meneteskan air mata. Malu betul. Bagi yang ingin juga menyimak ceritanya sila menonton disini.
Singkat cerita, dari acara ini mengajarkan saya untuk menjadi muslim yang jauh lebih baik lagi, saya tidak tahu kelak saya bisa seperti mereka atau tidak menjadi seorang hafizah, tapi mencoba tidak ada salahnya bukan? Karena Allah pasti memudahkan umatNya yang bersungguh-sungguh, sungguh itu janjiNya. Yang pasti saya sungguh ingin berterimakasih kepada PESIAR UI dan para pembicara, semoga Allah selalu merahmati mereka.

Hari Kedua.

Acara ini diadakan oleh (sepertinya) Nurul Fikri, saya juga kurang tahu sebenarnya, hahaha. Jadi ini sejenis majelis ta'lim dimana saat saya datang isinya seluruhnya ibu-ibu rumah tangga #baiklah.

Disini ilmu yang saya dapatkan tentang sejarah turunnya Al Quran, mulai dari asal muasal arti Al Quran yaitu yang berasal dari kata Qara'a yang artinya bacaan. Al Quran juga dianggap sebagai mukjizat terbesar bagi Rasulullah, dan penutup bagi kitab-kitab yang pernah ada. Disini juga dijelaskan, mengapa Al Quran sebagai mukjizat bagi Rasulullah, bukan mukjizat yang didapatkan oleh Musa a.s ataupun Isa a.s. Karena, turunnya suatu mukjizat sesuai dengan kondisi dan keadaan bangsa pada masa tersebut. Pada masa hidupnya Rasulullah saw, kaum Quraish menyukai syair-syair, maka karena itulah Allah melalui malaikat jibril menurunkan Al Quran yang begitu indah bahasanya. Hingga saat ini, belum ada yang mampu menandingi indahnya bahasa Al Quran.

Membaca Al Quran, kebaikannya dihitung per huruf, karena itu, sungguh besar amal kebaikan saat membaca Al Quran. Al Quran di turunkan kepada Rasulullah secara mutawatir, artinya berurutan, tidak langsung. Karena ayat-ayat ataupun surah-surah pada Al Quran memiliki kandungan tersendiri, karena fungsinya menyesuaikan kondisi pada saat itu. Misalnya, ada surah yang turun karena menjawab pertanyaan-pertanyaan atau keadaan pada masa itu. Selain itu, turunnya Al Quran tidak sekaligus, agar mempermudah proses menghafal bagi Rasul dan para sahabatnya.

Surah-surah Al Quran terbagi menjadi dua kategori, yaitu makiyyah dan madaniyah. Kategori makiyyah turun saat Rasulullah saw belum hijrah, biasanya berisikan tentang aqidah, akhlak, dan juga kisah-kisah nabi terdahulu dan kategori madaniyah yaitu surah yang turun setelah Rasulullah hijrah.

Al Quran adalah satu-satunya kitab yang tidak pernah mengalami perubahan walau Rasulullah sudah wafat, mushaf (lembaran-lembaran) Al Quran yang kita baca saat ini sama persis dengan yang Rasulullah dapatkan dari malaikat Jibril. Karena itu, pentingnya bagi seorang muslim menghafal Al Quran adalah untuk menjaga keaslian Al Quran. Dengan membaca tajwidnya dengan benar pada setiap ayatnya, tentu Al Quran akan selalu terjaga kemurniannya hingga akhir zaman. Adapun kewajiban seorang muslim lainnya terhadap Al Quran yaitu, mengimaninya dari surah pertama hingga surah ke 114, mengamalkannya, kemudian mendakwahkannya - walau kita tidak perlu menjadi penceramah, cukup dengan mengamalkannya hingga mampu dicontoh oleh muslim lainnya.

Di akhir ceramah Ustad mengatakan, bahwa mungkin menghafal Al Quran ataupun mempelajarinya akan terasa sulit, tapi Allah selalu berbaik hati dan memudahkan bagi mereka yang bersungguh-sungguh.

Wallahu a’lam bish shawab.

Sekian tulisan singkat saya tentang Al Quran, jika ada salah kata kepada Allah saya mohon ampun. Semoga yang membaca mampu mengambil manfaatnya, dan mampu meneruskan mampu membangun generasi Qur'ani seperti pada zaman sahabat-sahabat Rasulullah saw. Semoga Allah selalu memudahkan niat baik bagi yang selalu bersungguh-sungguh. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Tulisan lain tentang Penghafal Al Quran hasil datang dari Sekolah Perempuan Annisa Gamais ITB (tahun lalu).

selamat ulang tahun ke 110, bung! :)

Istri Soekarno Atau Istri Hatta?

Sebuah pesan singkat masuk di telepon genggam saya sore ini, 'istri Soekarno atau istri Hatta?'. Ntah apa maksud pengirimnya, yang pasti saya dengan sigap langsung menjawab, 'istri Hatta kak! Fix!'

Setelah mengirim pesan tersebut, saya jadi kepikiran kenapa yah saya lebih suka dengan Bung Hatta ketimbang Bung Karno? Mungkin karena Hatta asalnya dari Padang, sama-sama orang Sumatera. Baiklah alasan ini tidak terlalu logis, tapi memang seperti itu, biasanya orang satu pulau, lebih satu pikiran. Hatta dan Soekarno itu sama-sama penulis, sama-sama pembaca buku, bahkan setahu saya Hatta lebih 'maniak' dibandingkan Soekarno. Kalau tidak salah, Hatta itu memiliki sebuah perpustakaan pribadi, dengan koleksi buku (termasuk tulisan dia) sebanyak 30ribu. Yang paling kocak, tentang Hatta dan buku, adalah waktu dia dan Sjahrir di Digoel, dimana dia harus merelakan 6 peti buku yang dia bawa, karena harus membawa 3 anak angkat mereka. Dan, saya juga lebih banyak punya buku-bukunya Hatta ketimbang Soekarno, artinya Hatta memang lebih produktif menulis dibandingkan Soekarno.

Untuk masalah kepribadian, saya memang lebih suka Hatta yang -saya anggap- lurus dan tidak neko-neko. Tidak banyak omong, tetapi jika dia sudah bersuara, apa yang dia katakan, kalo kata anak jaman sekarang, makjleb semua. Tapi Hatta dan Soekarno itu saling melengkapi. Walau Hatta tidak lebih baik dibandingkan Soekarno, dan Soekarno juga tidak lebih baik dibandingkan Hatta. Makanya, dulu pasangan ini diagung-agungkan oleh rakyat Indonesia, walaupun hubungannya harus kandas di tengah jalan.

Bahwa Hatta itu lebih sederhana jika dibandingkan dengan Soekarno, informasi ini saya dapatkan dari beberapa buku sejarah tentang mereka yang saya baca. Beberapa waktu yang lalu pula, saya sempat membaca tulisan di Kompas, yang menceritakan tentang perbedaan negarawan dulu dan politisi jaman sekarang. Di artikel tersebut, diulas kembali mengapa Hatta menjadikan 'Alam Pikiran Yunani' sebagai mas kawinnya untuk Bu Rahmi, sederhana saja, harta yang paling berharga bagi Hatta adalah buku. Berbeda sekali dengan politisi-politisi saat ini yang orientasinya lebih keuang, tak heran banyak sekali koruptor kembali menjajah negeri ini habis-habisan.

Dari yang saya tahu, bagi saya Hatta adalah muslim yang baik, terlepas dari banyak cerita miring antara Hatta dan Islam, saya meyakini dia memiliki alasan tersendiri. Tapi dari tulisan-tulisan dia yang saya baca, dia sudah mencapai kriteria 'suami-muslim-idaman' standar saya.

Jadi, setelah tulisan panjang ini, walau ntah apa maksud pesan singkat itu, tapi interpretasi dari saya, saya akan lebih memilih menjadi istri Hatta dibandingkan istri Soekarno. Soekarno memang baik, lelaki ambisius nan romantis dan gombal, tapi mungkin, saya akan menghabiskan hidup dengan penuh kecemburuan, karena romantisme suami saya harus dibagi-bagi dengan wanita lain. Ntahlah, saya tak rela. Tentu saya ingin menghabiskan dengan lelaki yang hanya mencintai saya saja, seperti Bung Hatta ke Bu Rahmi, semoga! Hahaha.

By the way, terimakasih Kak Kaca, untuk pesan singkatnya!
Tuhanku 
Dalam termangu 
Aku masih menyebut namamu 
Biar susah sungguh mengingat 
Kau penuh seluruh

saya suka sekali, bagian ini dari puisi-nya Chairil Anwar, 'Doa'. mampu membuat saya mengalirkan air mata begitu derasnya. terimakasih!

Pendidikan Toleransi dalam Beribadah

i believe the children are our future 
teach them well and let them lead the way 

 Saya masih ingat, sekitar 2 tahun yang lalu, saya mulai percaya bahwa tidak ada anak yang nakal di dunia. Saya dan teman-teman saya, waktu itu saat masih mengajar di skhole, kami berjanji tidak akan memarahi anak dengan kata ‘nakal’. Pak Kobayashi -kepala sekolah Tomo Gakuen- pada buku Totto Chan-pun, tidak pernah memarahi anak-anak dengan sebutan nakal, dia selalu berkata, ‘kamu anak yang baik, bukan?’. Semua dari mereka terlahir baik, karena mereka adalah cahaya bagi dunia ini. Begitupun sekarang, saya masih percaya tidak ada yang nakal, hingga nanti seterus-seterusnya, saya akan percaya.

 Pak Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya ‘Menuju Manusia Merdeka’ pernah menuliskan tentang anak yang baru lahir, mereka bagaikan selembar kertas putih, orang dewasa (dalam hal ini orangtua mereka dan guru-guru mereka)-lah yang bertugas untuk mengisi kertas putih tersebut. Orangtua dan gurulah, yang memiliki tanggung jawab besar akan menjadikan anak itu seperti apa ke depannya. Dalam buku lain tentang pendidikan anak usia dini yang pernah saya baca, masa keemasan anak terdapat pada usia 0 hingga 7 tahun. Pada masa-masa itulah, masa depan, atau karakter anak akan ditentukan ke depannya. Dari sini, kita melihat, bahwa yang menentukan anak baik-atau buruk ke depannya adalah bagaimana, orangtua mendidik mereka.

 Beberapa waktu yang lalu, ada kasus seorang anak SD yang mencuri telepon genggam miliknya, dan kemudian menusuk temannya dengan pisau karena ketahuan mencuri. Lalu, Komnas Anak membantu proses hukum yang diberikan pada anak tersebut. Dan, saya masih ingat betul, Kak Seto sempat berkata, bahwa ‘pelaku penusukkan’ sebenarnya juga adalah korban. Korban akibat pendidikan yang didapatkannya tidak baik. Bisa salah orangtua, lingkungan sekitarnya (pergaulan dia di sekolah), bahkan mungkin pemerintah karena tidak memberikan tayangan yang baik di televisi, yang mencontohkan banyak sekali adegan kekerasan yang tidak mampu dicerna dengan baik.

 Dalam hampir satu minggu ini, saya menyaksikan betapa masih banyak orangtua yang masih belum mampu mendidik anaknya dengan baik. Shalat taraweh itu baik, mengenalkan pendidikan agama sejak anak-anak itu juga baik. Tapi mengganggu ketentraman/kekhusyukkan orang lain saat beribadah, sepemahaman saya itu tidaklah baik. Mengaji dengan suara keras saja, jika ada orang lain yang sedang beribadah dan mengganggu tidak boleh. Padahal mengaji adalah bentuk ibadah. Taraweh, yang sunnah hukumnya, tidak wajib dilakukan di masjid, bahkan tidak berdosa jika tidak melaksanakannya, seharusnya tidak memberatkan para orangtua dengan membawa anak-anaknya yang belum mengerti betul gunanya beribadah.

Ntahlah, saya memang belum berkeluarga, tapi saya berjanji, jika kelak nanti saya punya anak, saya tidak akan mengajak mereka shalat taraweh sampai mereka mengerti betul betapa pentingnya shalat tersebut. Pendidikan agama itu penting, mengenalkan anak lingkungan masjid juga tidak kalah pentingnya, tapi tidak mengganggu orang lain yang ingin beribadah tentu akan lebih baik lagi bukan? Pernah ada suatu kisah, Rasulullah saw mendapati seekor kucing meniduri jubahnya, tetapi karena Rasulullah saw tidak ingin membangunkan kucing tersebut, dia membiarkan kucing tersebut untuk tetap tidur di atas jubahnya. Hubungannya dengan orangtua yang membawa anak-anaknya yang masih anak-anak ke masjid saat shalat taraweh adalah, sebegitu pengertiannya Rasulullah tidak ingin mengganggu orang lain, bahkan hewan sekalipun.

 Toleransi. Saat ini, adalah barang yang mahal di negara ini. Betapa banyak kasus toleransi yang tidak habis-habisnya dibahas. Untuk ukuran sesederhana ini - membiarkan orang lain beribadah sebaik-baiknya - saja sesama umat muslim. Apalagi, toleransi kepada mereka yang berbeda agama. Orangtua-orangtua tersebut tidak mampu mendidik anaknya agar menghormati orang lain yang ingin beribadah dengan khusyuk. Orangtua-orangtua itu membiarkan ego mereka yang juga ingin beribadah, tanpa memperhatikan kebutuhan orang lain. Jadi, jangan salahkan, jika 20 tahun lagi, akan banyak terjadi perdebatan - permusuhan, akibat tidak adanya toleransi satu dengan yang lain.

 Saya tak mampu menyalahkan perilaku anak-anak yang gemar bermain di dalam masjid, teriak dan menangis di kala imam sedang dengan khusyuknya membacakan ayat Al Quran, atau bahkan berlarian di sepanjang shaf hingga hampir menginjak kepala orang yang sedang shalat. Tidak ada anak yang nakal, yang ada orangtua tidak mampu mendidik anaknya dengan baik. Mereka tidak mampu disalahkan, karena mereka belum mengerti betul memisahkan mana perbuatan yang baik dan buruk. Yang salah, menurut saya adalah tetap orangtuanya, karena tidak mampu untuk mendidik anak dengan baik.

 Ntahlah, ini hanya perenungan bagi saya saja, agar kelak jika saya memiliki anak suatu saat nanti. Saya tidak akan membiarkan ego saya beribadah hingga menyusahkan orang lain yang juga ingin beribadah. Akan ada banyak cara mengajarkan anak pendidikan agama sejak dini, mengenalkan mereka dengan lingkungan masjid. Dan mengajak mereka taraweh sejak usia dini, menurut saya bukanlah solusinya.

 Wallahua’allam bissawap. Kepada Alloh saya mohon ampun.

noitalpmetnoc

Beberapa waktu yang lalu saya menyelesaikan kembali sebuah buku berjudul, ‘Debu, Duka, Dsb’ tulisan Goenawan Mohamad. Saya tidak akan menceritakan keseluruhan isi buku tersebut. Ada hal menarik yang membuat saya sedikit kaget setelah membaca buku tersebut, lagi.

‘Debu, Duka, Dsb’ adalah buku ketiga dari Goenawan Mohamad yang saya baca. Secara garis besar, GM mencoba memberikan bantahan terhadap para theodis. Waktu pertama kali saya membaca buku ini, tentu banyak sekali resah yang bergejolak terjadi dalam diri saya, karena isu yang diangkat oleh buku ini cukup kompleks dan ‘bahaya’, tentang keadilan, takdir, kematian, Tuhan, dan lain-lainnya. Menariknya, di awal-awal membaca buku ini, timbul pertanyaan-pertanyaan baru yang menggugah saya untuk mencari jawabannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah saya fikirkan, pertanyaan- yang mungkin sedikit/banyak menggunggat Tuhan dan menggoyahkan apa yang sudah saya imani selama ini. Lucu yah, hanya dari sebuah buku dan pemikiran seseorang mampu memberikan efek yang cukup luar biasa kepada pembacanya. Tapi semakin saya larut dalam buku ini, saya malah semakin menemukan Tuhan dan keadilannya.

Saya malah makin tak sepaham dengan tesis-tesis yang diberika oleh GM. Saya makin bersemangat mengkoreksi bahkan mengkritisi yang GM tulis. Sebuah buku antitesis bagi para theodis, malah membantu seorang manusia melihat betapa adil Tuhannya. Atau mungkin memang itulah ‘subliminal message’ dari buku ini, ntahlah. Sama hal waktu saya membaca ‘Catatan Seorang Demonstran’, saya kagum dengan Soe Hok Gie, tapi bukan berarti saya mengamini dan mengimani apa yang dia tulis, toh sampai detik ini saya masih tak sepaham dengan metode kritik dia terhadap pemerintah. Bahkan ada beberapa orang yang mengintepretasikan tulisan-tulisan Soe Hok Gie ini adalah sekedar omong kosong belaka.

Kadang kita, manusia, ketakutan duluan ketika melihat sesuatu yang bukan ’kita banget’, sehingga kita jadi malas untuk mengenalnya. Kadang kita tidak mampu menghadirkan sudut yang berbeda pada cara berfikir kita dalam melihat sesuatu. Kadang pula kita terlalu malas mengkritis dan mengkaji kembali apa yang telah kita dapati, sehingga seringkali menelan mentah-mentah informasi tersebut.

Ketika, saya sebelumnya ketakutan membaca suatu buku yang- mungkin mampu merusak apa yang telah saya imani. Saya ternyata salah. Sudut pandang yang baru itu mampu membantu saya makin mengimani apa yang telah saya imani.

Saya jadi belajar, bahwa saat kita menemukan informasi baru yang tidak sepaham dengan saya atau malah juga sangat saya imani, saya tidak bisa terus saja menelan mentah-mentah informasi tersebut tanpa melakukan filterisasi, yaitu mengkaji ulang atau mengkritisi kembali. Karena Tuhan tentu memberikan kita akal untuk berfikir, bukan untuk menjadi hal yang sia-sia. Dan dalam proses filterisasi informasi itulah, akal akan berperan penting.

Sekian tulisan kurang penting dari saya. Terimakasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca ini. Have a nice day :)

[IM-HAN] Selamat Hari Anak, Indonesia

Selamat Pagi, Nak!


Nak, apakabarmu? Masih indahkah hari-harimu? Kudengar langit di kota tempat kau tinggal berarak awan putih di langit yang biru, jika senja datang maka warna birunya menjadi kemerah-merahan. Indahnya tiada tara, kau pasti bahagia kan? Berbeda dengan kami di kota. Jika senja datang, tak akan sempurna senja yang terlihat karena tertutupi gedung kota yang tinggi belum lagi langit berwarna abu-abu akibat asap debu polusi kendaraan membuat langit kami kotor, akibat kami susah sekali menyayangi langit kami. Semoga dikotamu, langit akan selalu dan terus berwarna biru dengan awan putih yang berarak indah, karena ada kau yang menjaga dan menyayanginya. 

Nak, bagaimana sekolahmu? Kudengar jika kau akan pergi sekolah harus melewati banyak sekali rintangan. Sungai dengan jembatan yang putus. Lalu hutan dengan jalan setapaknya. Atau padang rumput nan hijaunya. Sulit yah? Mungkin lelah yang kau rasa hanya untuk pergi sekolah, banyak sekali perjuangan yang kau harus lakukan. Tapi karena itu kau menjadi anak yang luar biasa. Kelak kau akan mensyukuri itu semua, karena mereka yang berjuang, adalah mereka yang pantas disebut pahlawan, baik untuk mereka sendiri dan semoga untuk orang lain kelak. 

Nak, bagaimana pelajarannya susahkah? Kudengar engkau anak yang pandai dan tak pernah patah semangat dalam menimba ilmu. Segalanya memang terasa susah di awal, tapi jika kau menjalani dengan sepenuh hati dan penuh keikhlasan, pasti akan terasa gampang dalam menjalaninya, percayalah. Kau tetap harus bersyukur masih bisa bersekolah bertemu dengan teman-teman dan bapak-ibu guru yang baik hati. Di sini dikotaku, masih banyak anak-anak yang tak mampu bersekolah, ingin belajar tapi tak pernah bisa, mereka menghabiskan waktu-waktunya di jalanan untuk mencari uang demi makan. Kelak jika kau ke kota, kau akan menemukan mereka di setiap sudut kota. Tanpa alas kaki. Bahkan, kadang tanpa orangtua.

Nak, bagaimana kabar ibu dan bapak? Tentu sehat, semoga! Mereka pasti bangga sekali dengan anak sepertimu, selalu sehat, cerdas, ceria, dan tentu saja bersemangat untuk bersekolah. Itu pasti karena mereka selalu mendoakanmu untuk jadi anak yang pandai dan patuh kepada orangtua, sayang kepada teman-teman sebaya, serta mencintai negara Indonesia, semoga! Jangan berhenti mencintai mereka, nak! Jadilah anak yang berbakti untuk mereka.

Nak, apa cita-citamu masih yang sama? Semoga kau masih menggantung cita-cita setinggi langit. Jadi apapun kau boleh, astronot yang pergi ke bulan, nelayan yang menjaring ikan, dokter yang mengobati orang sakit, arsitek yang membangun gedung-gedung tinggi, atau menjadi petani yang menanam beras. Semuanya boleh, nak! Kau boleh menjadi apapun yang kau inginkan, dan harapanku kau selalu memiliki mimpi yang selalu ingin kau gapai. Karena itu, belajarlah dengan rajin, nak! Manfaatkan apa yang telah kau miliki saat ini. Suatu saat mimpi-mimpi akan terwujud dengan doa alam semesta.

Nak, mungkin kita tidak pernah berjumpa sebelumnya, aku tidak pernah mengenalmu, kau juga tidak pernah mengenalku. Tapi percayalah, kita terhubung dengan langit yang sama, melihat bulan dan bintang yang sama pula. Karena itu akan kutitipkan doa pada bulan dan bintang, agar kau selalu jadi anak yang baik hati kebanggaan Indonesia, agar kau selalu bahagia dalam perjalananmu menimba ilmu hingga suatu saat nanti saat kau dewasa mampu membuat dunia tersenyum bahagia. Amin.

Salam Sayang.
Palembang, 23 Juli 2012. Surat untuk Anak Indonesia, dimanapun kau berada. Selamat Hari Anak, Indonesia

Jilbab

Beberapa hari yang lalu, saya baru menyelesaikan buku Jilbab milik Quraish Shihab. Sejujurnya saya tidak terlalu tertarik membaca buku ini, karena saya sudah menggunakan jilbab dan lagipula dari yang saya tahu Quraish Shihab bukanlah ulama yang menganjurkan penggunaan jilbab.

 Tapi akhirnya (setelah dianjurkan teman saya), saya memutuskan untuk mencoba menyimak pendapat penggunaan jilbab dari berbagai macam pandangan terkait perkara jilbab dan batas aurat perempuan. Saya tidak akan membahas isi buku ini dengan begitu lengkap, saya hanya akan menceritakan secara kulit luarnya saja, karena tentu intrepertasi orang akan berbeda-beda setelah membaca buku ini, seperti saya.

 Di awal buku, Qurais Shihab menjelaskan tentang perbedaan pendapat yang umum sekali terjadi di kalangan ulama muslim, tidak bisa dibantah pula jika mahzab saja bisa sampai ada 5 macam, tapi ada bagian yang menarik yang dipaparkan buku ini. Walau berbeda-beda mahzab, para ulama-ualam terdahulu saling menghormati pendapat ulama dan pengikut yang melaksanakan mahzab-mahzab tersebut. Dan yang paling membuat salut adalah bagaimana mereka dengan lapang dada menerima keberagaman, tanpa perlu saling menghakimi yang lain adalah kafir.

 Di buku ini juga dijelaskan pandangan-pandangan terkait jilbab dari segi Al Quran dan hadits shahih maupun yang bukan yang sering kali dijadikan acuan berbagai ulama dalam mengajukan argumen-argumennya. Banyak sekali pandangan-pandangan dari ulama yang baru saya ketahui, dan cukup membuat saya terkaget-kaget atas apa yang saya imani. Untuk tafsir kata ‘pakaian’ yang disebutkan dalam beberapa ayat yang berhubungan dengan ‘anjuran’ penggunaan jilbab saja, begitu panjang penjelasannya. Begitu pula terkait batas-batas aurat yang ternyata banyak menimbulkan perdebatan oleh ulama-ulama zaman dulu.

 Saya tidak mampu menceritakan isi buku ini secara keseluruhan apalagi terkait tafsir hadits dan ayat-ayat Al Quran-nya, karena saya takut intrepertasi saya terhadap buku ini, akan beda pemaknaannya dibandingkan jika teman-teman membaca dan mengambil inti sarinya sendiri. Tapi, jujur buku ini begitu pantas dibaca untuk membuka wawasan terkait masalah agama. Saya sendiri, setelah membaca buku ini (insya Alloh) makin mantap menggunakan jilbab panjang hingga menutupi dada. Dari buku ini, saya makin yakin bahwa Alloh dalam firman-firmanNya, sesungguhnya begitu memuliakan umat-Nya, lebih-lebih wanita. Wanita diciptakan sebagai perhiasan dunia, karena itu dia itu indah, sedap dipandang #eciye. Lantas bagi saya, anjuran berjilbab ini sendiri adalah suatu bentuk kehati-hati-an dan kecintaan (atau kasih sayang) saya terhadap diri sendiri, sebagai bentuk penjagaan agar perhiasan itu tetap indah, hehe. Bukan berarti kita, wanita, tidak boleh berhias, tetapi, di akhir buku Quraish Shihab menegaskan bahwa, tidak baik jika seorang perempuan, sengaja memperindah dirinya hanya agar menjadi sorotan agar dikagumi atau dilihat oleh banyak orang.

 Buku ini juga membuka mata saya sekali, terkait masalah betapa seharusnya kita begitu hati-hati dalam menafsirkan hadits dan ayat Al Quran, beberapa hadits yang telah ditafsirkan oleh ulama-ulama atau perawi-perawi yang memang begitu cerdas dan jeli dalam memaknai hadits. Dan yang (sekali lagi) benar-benar membuka mata saya dan sudut pandang saya terhadap ilmu Islam adalah betapa kita-walaupun berbeda-beda pendapat-dalam menafsirkan hadits dan ayat Al Quran, kita tetap harus saling menghormati, walau diperlukan untuk mengingatkan dan diskusi bersama. Karena Islam adalah rahmat bagi semuanya.

 Sekian tulisan saya terkait buku Jilbab milik Quraish Shihab. Jiika ada salah kata kepada Alloh saya mohon ampun, wallahualam bissawap.

Pulang


‘cinta itu menyenangkan, tapi kehilangan itu menyakitkan’
Begitu kata mamanya Mazmur dua hari yang lalu. Melelehlah air mata saya saat mendengarnya. Ntah kenapa ada banyak rindu yang berbentuk buliran air mata yang meluncur di kedua pipi saya. Saya rindu akan banyak hal. Saya sejujurnya dalam proses melepaskan kepedihan. Saya memang banyak tertawa saat bersama dengan orang-orang, tapi sesungguhnya saya benar-benar kesepian.
Waktu orang-orang menilai saya berlebihan mengurai tangis meninggalkan sekolah dan anak-anak saya. Sesungguhnya itulah yang benar-benar saya rasakan. Saya kesepian, dan dengan hanya mereka saya menjadi bebas, menjadi diri sendiri, menjadi apa adanya. Mereka tidak pernah menilai saya, dari apa yang saya tampilkan. Anak-anak itu mengajari saya mencintai dengan cara yang sederhana. Tertawa dengan riang gembira tanpa beban dunia. Tanpa ketakutan akan masa depan. Menikmati hari ini, esok, dan seterusnya.
Sekolah dan anak-anak itu adalah obat gelisah saya. Tanpa sadar, ternyata mereka lalu menjadi candu, dan sekarang saya dalam keadaan sakau karena terlalu rindu. Mungkin juga dicampur karena kesepian yang tiada hingga. Yang pasti perpindahan ini membuat saya mengalami banyak sekali kehilangan. Dan itu benar-benar menyakitkan.
Oh, Tuhan. Saya ingin kembali pulang, pertemukan saya dengan rumah yang baru.


i know someday, that you’ll never remember anything about me. How do i look like, or how do i talk with you. But, you must have to put your faith in me, that i’ll always love you although it’s hard for us to meet each other after this. I’ll always pray for all of you. That you’ll be good child for your parents, be a shaleh/shaleha kid, and be a good human for this world. You’re the first and the last, the best thing that i’ve ever had. You’re my dream that come true. I love you kiddos, and always.

Agni, hope can see you again. Aamiin. Smooch!

Membangun Pendidikan Indonesia #3


Sedikit tentang Sekolah Bermain Balon Hijau. Saya disini bukanlah sebagai inisiator, tapi ide teman-teman dan semangat yang dibawa saat membangun sekolah ini bagus sekali, dan semoga mampu menginspirasi.

Teman-teman saya yang bernama Dwi Yoshafetri Yuna, Megariza Latief, dan Linda Studiyanti, merupakan mahasiswa tingkat akhir waktu itu. Saya kebetulan diajak langsung oleh Linda untuk bergabung menjadi guru, mungkin karena tahu latar belakang saya yang menyukai anak-anak, apalagi anak-anak kecil. Jadi saya cukup mengalami jatuh-bangunnya sekolah ini dari awal.

Pertama kali yang mereka lakukan adalah pendekatan dengan ibu-ibu di sebuah posyandu, kemudian mereka menawarkan untuk memberikan pendidikan anak usia dini secara gratis kepada ibu-ibu. Dan setelah melakukan pendekatan, alhamdulillah berdirilah sekolah ini.

Idenya sih sederhana, biar memfasilitasi anak-anak agar bertumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang aktif, cerdas, dan shaleh/shaleha. Tapi selain berfokus pada orangtua, kami juga ingin meningkatkan kualitas ibu-ibunya agar juga menjadi ibu yang cerdas dan melek masalah pendidikan anak, khususnya anak usia dini. Karena itu, setiap satu bulan sekali kami mengadakan pengajian yang isinya selain mengaji bersama juga berdiskusi terkait masalah anak dengan mendatangkan para pembicara profesional di bidangnya.

Kurikulum kami buat sendiri dengan mengacu kurikulum yang dibuat oleh pemerintah dengan modifikasi di sana sini tentunya, sesuai dengan visi-misi yang sekolah kami bawa. Walau sekolah kami masih tergolong informal, tapi sistem yang kami bangun disini, bagi saya sudah cukup baik.

Kami memiliki data tumbuh-kembang anak setiap harinya, sehingga saat pembagian rapor kami bisa tahu anak-anak mana saja yang tingkat kecerdasannya meningkat. Parameter yang kami gunakan di ambil dari paramater keberhasilan yang dibuat oleh pemerintah.

Kami juga mengajak ibu-ibu anak didik kami untuk berpartisipasi atas keberjalanan sekolah ini, mereka boleh memberikan masukkan atas keberjalanan sekolah dan membantu kegiatan-kegiatan sekolah, sehingga cita-cita 'community development' mampu terwujud dengan baik. Dan harapan terbesar adalah masyarakat mampu bergerak sendiri dengan dibantu sedikit pancingan, yaitu sekolah ini mampu berdiri sendiri walau suatu saat nanti kami sudah tidak berada di sana lagi.

Ini sedikit dari cerita saya tentang sekolah-sekolah gratis yang saya dan teman-teman baik saya bangun. Inti tujuan kami sebenarnya adalah fokus dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, dengan tidak hanya mengeluarkan kritik terhadap keberjalanan sistem pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, tetapi kami juga memiliki bukti konkrit atas kritikan kami.

Sekian sedikit tulisan dari saya, semoga bisa diambil manfaatnya.

'The Foundation of every state is the education of its youth' - Diogenes Liberties



Sebenarnya saat saya bilang sekolah jangan kebayang, bahwa sekolah yang saya ceritakan di sini, adalah sebuah bangunan besar dengan banyak murid di dalamnya dan fasilitas lengkap. Sekolah yang saya maksud disini cukup terisi dengan kamu (sebagai guru) dan anak (atau anak-anak) muridmu dan terjadi proses-belajar-mengajar.

Sedikit cerita tentang latar belakang kenapa perlu kita membangun sekolah milik kita masing-masing, beberapa belas tahun yang lalu, mahasiswa di almamater saya menempati kost-kost-an yang berada di lingkungan warga. Mungkin, karena kami 'dianggap' manusia pintar, warga-warga disekitar tempat mahasiswa tinggal, tidak segan menitipkan anaknya untuk dididik pendidikan tambahan di luar sekolah kepada kakak-kakak tingkat saya.

Apalagi, kebanyakan mahasiswa di almamater saya menempati kost-kostan di lingkungan keluarga menengah ke bawah yang anak-anaknya pendidikan di sekolahnya belum cukup, kemudian orangtua tidak sempat atau tidak bisa menemani proses belajar sepulang dari sekolah, tetapi tidak punya uang lebih untuk membayar les tambahan.

Sayangnya aktivitas ini, seiring tahun makin menurun, hingga tiba pada masa saya, benar-benar tidak ada lagi mahasiswa yang mau mengajari adik-adik dilingkungan sekitarnya secara sukarela (kalaupun ada mungkin bisa di hitung satu tangan, paling satu-dua orang). Kalo dari pengalaman yang saya liat, hal ini diakibatkan meningkatnya aktivitas akademis di lingkungan kampus, serta adanya keseganan bagi mahasiswa untuk berbaur dengan masyarakat lingkungan sekitar.

Padahal, knyatanya bahwa mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat itu pula. Sudah seharusnya kita berpartisipasi aktif melebur dan menyatu dengan lingkungan tempat kita tinggal.

Belum lagi, kacau-balau dan carut-marutnya sistem pendidikan di negara kita, sudah seharusnya (lagi) kita berpartisipasi membantu kerja pemerintah untuk menanggulangi bobroknya pendidikan Indonesia. Daripada mahasiswa, melakukan demo meneriakki sedikitnya jumlah APBN untuk bagian pendidikan, alangkah lebih baiknya kita, membantu menjadi guru-sukarela untuk adik-adik yang masih belum mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya.

Nah, dengan latar-belakang itu-lah, saya bersama dua teman baik saya Sri Suryani dan Robbi Zidna Ilman, yang kebetulan mereka sudah memiliki hubungan baik dengan suatu daerah di dekat lingkungan kampus, menawarkan diri kami untuk membimbing adik-adik di daerah tersebut untuk mendapatkan pelajaran tambahan.

Hal ini tidak mendadak dilakukan, tetapi dengan investigasi dan pendekatan yang cukup memakan waktu, karena kami sadar bahwa yang akan kami bimbing ke depannya adalah anak orang, bukan anak kami. Sehingga, alangkah lebih baiknya, kalo kami menjalin hubungan baik dengan keluarga anak-anak tersebut lebih dulu, sehingga bisa mengantongi 'kepercayaan dari mereka'.

Apalagi pada saat itu si ibu RW sempat curhat seperti ini, 'Dulu waktu tahun 90-an, biasanya kalo malem, anak-anak di RW sini dateng ke kostan mahasiswa sambil teriak-teriak, 'Om.. Om.. Mau belajar, Om!'. Terus dia bilang, 'Sayang sekarang udah ga ada lagi...'

Karena, sudah pedekate cukup lama dengan 'Ketua Setempat' yah bisa kepala RT, atau kepala RW-nya, atau siapapun yang dituakan di daerah tersebut serta warga sekitar, kami akhirnya dizinkan belajar-mengajar di daerah tersebut, kami juga di pinjamkan masjid untuk dibiarkan melakukan proses belajar-mengajar. Hal itu sudah berlangsung sejak November 2011, alhamdulillah hingga saat ini proses belajar mengajar masih berlangsung hingga sekarang.

Selain rumah belajar di daerah sekitar kampus. Saya dan teman-teman dari SKHOLE, juga membangun rumah belajar di salah satu panti asuhan di kota Bandung, di daerah Ciumbeleuit. Prosesnya yang dilakukan sama dengan cerita di atas. Kami mendatangi Kepala Pimpinan Panti Asuhan tersebut, dan menanyakan masalah yang dihadapi adik-adik di sana. Dan ternyata sama saja, adik-adik masih kesulitan menerima pelajaran di sekolah, salah satu faktornya adalah karena terjadi 'shock culture'. Asal mereka dari kota terpencil, agak kesulitan menangkap materi yang ternyata terjadi perbedaan antara kurikulum di kota besar dan kota pedalaman (daerah). Lucu yah. Karena itu, mereka (pihak panti) sangat senang waktu kami menginisiasi diadakan kelas belajar di sana agar bisa meningkatkan motivasi semangat belajar adik-adik di sana.

Selain belajar materi sekolah, kami juga sempat memperkenalkan keilmuan yang ada di kampus kami kepada mereka, agar memotivasi tujuan masa depan mereka, agar mereka tahu bahwa ilmu di dunia ini begitu luas dan banyak. Agar mata mereka terbuka luas tentang bidang keilmuan.

Kami juga sempat membuat kurikulum sendiri, walau belum teraplikasikan dengan baik. Gunanya dari pembuatan kurikulum ini sendiri adalah, agar suatu saat nanti, sistem pendidikan yang kacau balau ini dapat terbenahi dengan gagasan-gagasan baru dari kami. Kalau bisa saya bilang, sekolah-sekolah atau rumah-rumah belajar yang kami bangun ini adalah suatu bentuk demo dari rakyat (khususnya mahasiswa) kepada pemerintah atas carut-marutnya sistem pendidikan negara ini.

Bersambung...

Tulisan ini sudah lama saya buat. Dan akhirnya, saya publikasikan sebagai bentuk rasa bersyukur saya karena SKHOLE (organisasi yang pernah saya ikuti) masih bertahan hingga hampir menyentuh umur ke 3. My baby is still growing up.

Pada bagian pertama 'Membangun Pendidikan Indonesia', sebenarnya akan lebih mengarah  ke latar belakang kenapa mahasiswa-mahasiswa Indonesia perlu berpartisipasi aktif dalam sistem pendidikan, khususnya belajar-mengajar.

Kalo kata teman saya Mangunju Luhut Tambunan, 'Semesta adalah sekolah, dan semua makhluk adalah guru bagi makhluk lainnya.'

Dari sini kita bisa menarik benang merah bahwa mengajar adalah profesi yang hampir bisa dilakukan oleh banyak orang. Apalagi, jika seorang mahasiswa yang sudah pasti pernah mengenyam bangku sekolah selama 12 tahun, tentu sudah tahu betul bagaimana rasanya 'diajar'. Di otak kita pasti sudah merekam dengan baik aktivitas 'diajar' yang tentunya akan memberikan peluang yang lebih besar untuk melakukan akibat dari sebab yang sudah didapatkan, yaitu akibatnya adalah 'mengajar'.

Dari latar belakang masalah 'mengajar' tentu, kita tentu harus tahu target siapa yang akan kita 'ajar'. Tahu-kah kalian, bahwa sebagian besar anak-anak Indonesia yang menempuh pendidikan di sekolah umum milik pemerintah tidak mendapatkan pendidikan yang semestinya. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya kualitas guru Indonesia, belum lagi fasilitas yang diberikan pemerintah kepada sekolah kadang tidak membantu proses belajar-mengajar tersebut.

Belum lagi, tebang pilihnya penempatan guru dengan kualitas baik dan kualitas 'kurang baik' ke tiap-tiap sekolah. Misal seorang guru dengan hasil penilaian dari dinas hasilnya kurang memuaskan, maka dia akan ditempatkan ke sekolah dengan akreditasi kurang baik pula. Dan sebaliknya, semakin baik penilaian dinas pendidikan terhadap seorang guru, maka guru itu akan ditempatkan di sekolah dengan akreditasi yang baik pula.

Mungkin dari kalian akan bilang, 'Sok tahu banget lo, Nay!'. Hahahaha, saya memaklumi hal ini, apalagi latar pendidikan saya bukan berasal dari jurusan 'pendidikan'. Kebetulan, saya sudah menemui banyak anak yang bermasalah dengan anak-anak pendidikan di sekolahnya, dan seluruh anak-anak tersebut berasal dari sekolah milik pemerintah. Saya juga pernah memberikan pelatihan pendidikan matematika kepada beberapa guru sekolah dasar milik pemerintah, yang ternyata dari hasil pelatihan tersebut, guru-guru tersebut memberikan hasil yang tidak bisa dibilang memuaskan.

Untuk beberapa kasus di atas, memang seharusnya saya tidak bisa menarik kesimpulan bahwa pendidikan sekolah di Indonesia bermasalah (baiklah, saya akan mulai mencari data yang benar-benar akurat, dan tidak hanya berdasarkan pengalaman saya di lapangan saja, hahaha). Tapi saya juga melihat betapa marak munculnya bimbingan belajar di tiap-tiap kota. Dari situ, sebenarnya, saya bisa membuat hipotesis sendiri, bahwa pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia sebenarnya ada yang ga beres.

Seharusnya, pendidikan sekolah itu sudah lebih dari cukup buat anak-anak Indonesia, tapi nyatanya, masih banyak sekali anak-anak yang kesulitan menerima pelajaran di sekolah mengakibatkan mereka akhirnya mencari 'bimbingan belajar dengan rumus cepat-tangkap'.

Kalo sudah begini, makna pendidikan itu sendiri sudah lenyap dibawa angin pantai ntah kemana. Lalu, pernah-kah kita bertanya buat apa sih kita sekolah? Ataukah hanya ujung-ujungnya nilai yang akan membawa kita ke gaji dan posisi tertinggi dalam suatu perusahaan kah tujuan akhir kita?

Bersambung....

catatan harian buguru #3


Karena kemungkinan ini adalah dua bulan terakhir saya mengajar di Sekolah Bermain Balon Hijau, huks. Maka, dengan senang hati saya akan menuliskan apa yang saya lakukan selama mengajar setiap harinya (senin-rabu-jumat).

Anak-anak itu...

Kemarin saya baru menyadari, banyak hal-hal yang bisa disebut 'priceless' saat berinteraksi dengan mereka, anak-anak itu. Mungkin, mereka mengira, merekalah yang banyak belajar dari kami. Kami, guru-gurunya, memberikan pendidikan untuk mereka, anak-anak itu.

Kenyataannya, kamilah, khususnya saya, yang jauh lebih banyak belajar. Tentang anak, tentang kejujuran, tentang kepolosan, tentang bagaimana tetap harus tersenyum menghadapi dunia.

Mereka semacam candu bagi saya, yang harus terus-terusan saya hirup agar tidak sakau saat menelan kepahitan melihat dunia yang sebenarnya.

Mereka semacam pengobat rindu, bagi mereka yang akan terus kehilangan cinta yang sesunggunya karena beranjak dewasa.

Mereka semacam kasih yang tulus, yang mengobati luka akibat dirobek oleh keganasan dunia.

Mereka adalah cinta dan cinta adalah mereka.
 
Apapun yang akan mereka, anak-anak itu, hadapi kedepannya. Sebagai ibu, walau mereka tak pernah lahir dari rahim saya, saya akan selalu mendoakan mereka agar selalu mampu melihat indahnya dunia ini, agar mereka takkan pernah terluka.

Where every moment spent with you is a moment I treasure...

catatan harian buguru #2


Karena kemungkinan ini adalah dua bulan terakhir saya mengajar di Sekolah Bermain Balon Hijau, huks. Maka, dengan senang hati saya akan menuliskan apa yang saya lakukan selama mengajar setiap harinya (senin-rabu-jumat).


Hari ini, seperti hari jumat-jumat lainnya, yaitu baris berbaris yang kemudian diikuti dengan senam pagi - putri halim (iyah, nama senamnya Putri Halim), dan kemudian 'pelajaran' yang sudah dirancang di kurikulum tetap.

Jadi, tema hari ini adalah menempel kertas-kertas yang sudah digunting-gunting pada bola yang berbentuk telur.   Fungsinya adalah untuk membantu anak-anak agar berimajinasi (menempel-nempel dengan sesuka hati mereka), kemudian juga kepekaan indera mereka (anak-anak).

Evaluasi

Masih kayak cerita lama, anak-anaknya sih semangat, tapi 10 menit awal doang. Habis itu keliatan males, bahkan Agni jijik megang lem jadinya dia males nempel-nempel. Rrrrr. Tapi bagian yang menyebalkan adalah susah banget kasih pengertian ke ibu-ibunya, biar mau membiarkan anak-anaknya melakukan kreativitas sendiri-sendiri, tanpa bantuan ibu-ibunya.

Kebetulan banget, semalem saya baru menyelesaikan bacaan tentang metode pendidikan Montessori. Metode yang meningkatkan fungsi panca indera anak-anak umur 3-7 tahun, dimana seharusnya mereka (anak-anak) melakukan pekerjaan mereka secara mandiri tanpa bantuan orangtuanya. Karena, nanti akan berpengaruh pada dampak psikologis anak-anak itu, yang mampu menghasilkan anak yang tak mampu berkreasi dan tak percaya diri.

Makin kesini, tantangan sebagai ibu guru makin gede. Harus bisa memanajemen anak-anak sekaligus orangtuanya. Huks. Dan apalagi, pas ngulang baca buku 'Menuju Manusia Merdeka'-nya Ki Hadjar Dewantara, jadi makin beban. Hahaha, soalnya, ngerasa banget selama ini belum bisa jadi guru yang baik.

Yosssh! Ganbatte Kudasai!

catatan harian buguru #1

Karena kemungkinan ini adalah dua bulan terakhir saya mengajar di Sekolah Bermain Balon Hijau, huks. Maka, dengan senang hati saya akan menuliskan apa yang saya lakukan selama mengajar setiap harinya (senin-rabu-jumat).


Hari ini, adalah hari pertama triwulan baru Sekolah Bermain Balon Hijau, setelah bagi rapot sekitar dua minggu yang lalu. Betapa rindunya saya dengan anak-anak ini, yang selalu sukses buat saya berkurang rasa stressnya karena menjadi pengangguran.


Kebiasaan setelah liburan panjang (liburan kemarin, liburan kali kedua setelah bagi raport) adalah anak-anak harus beradaptasi lagi dengan lingkungannya. Jadi balik malu-malu lagi, lupa sama bu guru, dan lebih memilih untuk berada dekat ibunya. Jadinya, guru-guru harus kasih effort lebih biar anak-anak mau bergabung bersama.


Seperti biasa, guru-guru berjumlah kurang dari 10 orang, yaitu hanya 8 orang, yaitu saya, Ocha, Iin, Iid, Susan, Mega, dan Zahra, kemudian ada Ariza (bapak guru laki-laki). Kelas dimulai seperti biasa, dengan baris-berbaris di depan masjid. Baris-berbaris di pimpin oleh saya dan Iin, kemudian kami berdoa yang dilanjutkan dengan bernyanyi-nyanyi.


Senangnya, hari ini Jaziya berani maju ke depan, dan menyanyi dengan suara yang lebih keras, disusul dengan Adit dan Devina.


Setelah selesai baris-berbaris, kami masuk ke dalam masjid yang dipimpin oleh saya sebagai kepala kereta api (jadi di SBBH itu dibiasakan agar anak-anaknya mau berbaris dengan cara bermain kereta-kereta-api-an). Kelas dilanjutkan dengan menonton film Penguin Madagaskar, teman kelas hari ini masih tentang hewan, karena anak-anak diminta mereview apa saja yang mereka pelajari saat berkunjung ke kebun binatang beberapa waktu yang lalu.


Evaluasi


Hari ini, Iin sebagai centeng SBBH mengevaluasi kinerja para guru yang belum (bahkan tidak) baik dalam mengajar. Hufff, kami yang notabenenya lulusan jurusan sains dan teknik, memang sebenarnya belum (atau bahkan tidak) paham betul bagaimana seharusnya mengajar dengan baik-baik. Salah-salah, bukannya mendidik anak menjadi lebih baik, kami (mungkin) malah merusak jiwa anak-anak itu. Sedih juga sih, tapi ini tamparan yang keras buat saya buat belajar lebih baik lagi sebagai seorang pendidik, toh ini manfaat bagi juga sebagai calon ibu (#eaa).


Karena ini tahun ajaran baru, maka kami memulai kurikulum yang baru pula, sempat dibahas sistem internal dalam sekolah dan kurikulum yang baik itu seperti apa. Saya kebagian mengerjakan bagian calistung. Sebenernya saya masih ga rela, anak-anak didik saya disuruh menelan huruf-huruf dan angka-angka di umur yang masih kecil-kecilnya, apalagi nama kami itu Sekolah Bermain, jelas-jelas fungsinya bermain, bukan baca-tulis-hitung. Tapi apa daya, orangtua-orangtua murid-murid makin resah karena anaknya belum bisa membaca, dan kami diminta bantuan untuk mengajarkan mereka, agar kelak bisa diterima di Sekolah Dasar. Hufttt.


Doakan saya yah semoga berhasil!





vingt-trois ans

day-minus-two 

i thought i had an amazing year.
 
wisudaoktober-ketemubanyakorangbaru-sekolahbermainbalonhijau-sahabatandenganbanyakorangbaik-punyabanyaktemendiskusiagamafilsafatsejarah-bacabanyakbukubagusbanget-ngajarsains-jadiguruTK-jalanjalankelilingmuseumbandung-lostingarut-dapetbanyakbungapaswisuda-belajarbahasaperancis-dansebagainya-dansebagainya.

i just feel so bless-full and thankful. Alhamdulillah :')

semoga menjadi, mendapatkan, dan melakukan yang terbaik di umur selanjutnya. AAMIIN!

apakabar kau, Soe Hok Gie?

Apakabar kau, Gie?
Kau pasti sedang tertawa-tawa disana, hah? Mati muda yang kau harapkan, pasti sangat membuat hatimu bahagia. 
Tahu kah kau, dunia ini ternyata tidak lebih baik setelah kau tinggalkan.
Pemerkosaan terhadap hak-hak kaum yang termarjinalkan tak kunjung berhenti sejak kau tak ada. Tak ada yang berubah, mungkin situasi yang sama saat kau gerah dengan Tuan Presiden yang tiap hari kau kecam dalam tulisanmu.
Sandiwara yang sama persis yang kau ceritakan di diarimu yang melegenda itu, hanya saja sering pergantian pemain baru terus terjadi. Tapi, yah itulah, sama saja dengan cerita masa lalu.
Seringkali ku berfikir, bagaimana jika kau masih bernyawa hingga saat ini? Apakah kau terus memiliki idealis yang sama dengan yang kau punya dulu? Apakah kau terus memiliki semangat yang sama saat seperti kau mengecam elit-elit politik yang tak berhati dan berotak?
Aku takut berasumsi, Gie.
Aku selalu ingat, dulu kau pernah meneriakkan dengan lantang,
‘Generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua,….. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.’
Tapi, sekarang malah generasimu yang mengacau negara ini. 
Dan generasiku kini yang sedang bertugas untuk memberantas mereka.
Gie, aku sejujurnya tak tahu mereka sedang berjalan di arah yang tepat atau tidak. Mereka membawa kemerdekaan yang baru dan nyata atau tidak. Atau mereka hanya menganggap ini suatu kesenangan semu belaka.
Tapi aku mencoba meletakkan kepercayaan bahwa mereka melakukan yang baik, mungkin sama, saat teman-temanmu menaruh kepercayaan di pundakmu untuk melakukan hal yang sama.
Aku sendiri, tak sepaham dengan metodemu mengkritik pemerintah. Mungkin karena bentuk kaderisasi yang kudapat tak sehebat yang kau dapat. Aku terlalu takut untuk berteriak lantang menantang penguasa hingga hanya mampu berdiam diri, dan akhirnya menuliskan ini. Aku, mungkin juga, hanya malas keluar dari zona nyaman, karena dunia yang kau perjuangi, tak pernah menawarkan keindahan.
Gie, doakan aku dan teman-teman, agar tidak mengulang kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh generasi-generasi pada zamanmu. Agar kami  lebih memilih diasingkan daripada menyerah pada kemunafikkan. Agar kami tak setengah-setengah antara apatis atau idealis, dan lebih memilih menjadi idealis sejauh-jauhnya. Agar kami juga, mungkin suatu saat nanti bisa jadi pemimpin yang baik.

Sejarah

Kalo ditanya pelajaran apa yang paling menyebalkan sewaktu saya sekolah dulu, mungkin selain Fisika, akan saya jawab, Sejarah!
Dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),
se.ja.rah [n] (1) asal-usul (keturunan) silsilah; (2) kejadian dan peristiwa yg benar-benar terjadi pd masa lampau; riwayat; tambo: cerita --; (3)pengetahuan atau uraian tt peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi dl masa lampau; ilmu sejarah
Yah, sejarah pelajaran yang sungguh menyebalkan bagi kehidupan masa sekolah saya. Bagaimana tidak? Setiap menjelang ujian, saya harus menghafal beratus-ratus nama dan beratus-ratus tanggal. Belum lagi, terlalu banyak kisah yang tidak menarik, dan guru sejarah yang membosankan, dan terlalu kaku. Membuat saya enggan mengetahui sejarah bangsa saya sendiri.

Menjelang tingkat 3 sewaktu kuliah, saya bertemu dengan orang-orang yang gila sejarah, khususnya sejarah Indonesia. Awal mula saya tertarik mempelajari sejarah itu dimulai saat teman saya seringkali membicarakan tentang Gie. Saat itu, saya sedang aktif-aktifnya di kemahasiswaan di kampus, dan rasanya agak aneh jika tidak pernah tahu tentang yang namanya Soe Hok Gie. Dari situ, kemudian saya makin tertarik dengan banyak hal, hingga saat ini saya baru menyadari bahwa pahlawan-pahlawan Indonesia jaman dulu benar-benar awesome. Seperti Tan Malaka dan Bung Hatta.

Adalah teman saya bernama Surya Pagi Asa, yang berhasil meracuni saya tentang cerita kerajaan-kerajaan yang dulu pernah berjaya di Indonesia. Akhirnya, saya sukses terangsang untuk membaca lebih banyak tentang Sriwijaya, Majapahit, Singosari, Demak, dan kerajaan-kerajaan lainnya. Dan ternyata, sejarah tentang peristiwa-peristiwa itu dulu, tidak semembosankan itu.

Dari sejarah saya banyak belajar hal.

Karena ke-ingin-tahu-an yang begitu besar, sejarah memancing saya untuk lebih banyak belajar lagi dari museum. Saya mengajari diri saya, untuk belajar sejarah tidak hanya melalui buku, tetapi juga melalui bukti asli dari tiap-tiap peradaban.

Ke-ingin-tahu-an saya tidak berhenti di sejarah Indonesia, mengenal beberapa teman yang menggilai tentang kejayaan masa-masa ke-khalifah-an, membuat saya terpanggil untuk mencari tentang latar belakang orang-orang menginspirasi dari kalangan agama Islam. Antara lain, Siti Aisyah, Ibnu Sina, Khalifah-Khaligah setelah Rasululullah Saw, hingga ilmuwan-ilmuwan muslim yang sempat membuat Islam berada di puncak kejayaannya, membuat saya ingin terus 'kembali' ke masa lalu, melalui tulisan-tulisan tentang mereka.

Bagi saya, penting bagi seorang manusia mengetahui sejarah atau masa lalu baik negara maupun agamanya.
Dari sejarah kita belajar untuk tidak mengulangi masa lalu.
Dari sejarah kita dapat berkaca hingga kemudian mampu mengukir mimpi-mimpi untuk masa depan.
Dari sejarah pula, kita akan menyadari betapa besar bangsa kita dahulu, dan seharusnya kita bisa mempertahankan itu, atau bahkan membuat itu lebih bersinar.

Karena itu, jangan pernah takut untuk belajar banyak tentang sejarah.


Bandung, 8:36 PM, 25 Februari 2012.

Generasi Elo-Elo, Gue-Gue.

Apa yang terpikirkan saat kamu mendengar isu BBM akan naik pasa tanggal 1 April 2012 nanti?

Kalo saya sendiri, pertama kali yang saya pikirkan bahwa uang 50 ribu yang biasa saya pakai belanja di Pasar Simpang Dago tentu tidak akan mampu digunakan untuk membayar keseluruhan barang yang ingin saya beli. Mungkin, ayam yang biasanya sekitar 20-24 ribu perkilo, akan menjadi 30 ribu per kilo, atau bahkan bisa lebih.

Untuk tingkatan ekonomi saya saat ini, tentu hal ini tidak terlalu menjadi masalah bagi saya. Alhamdulillah memang.

Tapi pernahkah, teman-teman yang berada di posisi saya saat ini, yang sedang asyik berselancar di internet tanpa beban, yang duit jajan tentu akan naik seiring dengan naik harga BBM, atau gaji di kantor akan segera menyesuaikan dengan naiknya harga BBM, memikirkan nasib mereka yang hanya berpenghasilan kurang dari 10 ribu perhari? Pernahkah?

Dengan penghasilan yang tak tentu, kemudian dengan pengeluaran yang pasti, kenaikan BBM ini tentu akan berdampak sangat besar bagi mereka yang berada di garis bawah kemiskinan, dan yang tak punya penghasilan tetap. Naik 1000-2000 bahan pokok makanan, tentu bagi mereka bukan hal yang mudah. Jika beras dulunya bisa dibeli 5000/kg, dan nantinya bisa naik menjadi 6000 atau lebih, tentu bukan hal yang bisa ditoleransi oleh mereka.

Kalo pemerintah bilang, subsidi BBM ini bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih fungsional yang mampu menyejahterahkan rakyat. Hingga detik ini, saya tak mampu percaya uang-uang yang seharusnya digunakan untuk subsidi BBM bisa digunakan sebagai mustinya. Bagaimana saya bisa percaya, partai besar yang mendukung kenaikan BBM ini adalah partai yang anggotanya banyak sekali terjerat korupsi, lalu bagaimana sebagai rakyat bisa percaya akan janji-janji (yang mungkin palsu) ini?

Saya menuliskan ini bukan berarti saya menolak naiknya BBM mentah-mentah tapi juga tidak menyetujuinya. Saya hanya berbagi pandangan yang saya hipotesiskan seandainya BBM naik. Tentu dampak sosial untuk masyarakat kelas bawah akan sangat besar, jumlah rakyat miskin tentu akan makin bertambah, lalu kemudian tingkat kejahatan pasti akan juga ikut meningkat. Kemudian siapa yang akan dirugikan? Tentu kita semua.

Bagi saya solusi yang mungkin tepat, adalah dengan tidak menaikkan BBM, kemudian memperbaiki fasilitas publik hingga mampu membuat masyarakat beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Lalu kemdian, membuat mahal pajak kendaraan pribadi, hingga nanti akan berdampak pengurangan konsumsi penggunaan bahan bakar minyak.

Seandainya-pun BBM benar-benar jadi naik, semoga hipotesis saya salah terkait rasa percaya kepada pemerintah. Aamiin.

husnuzhon

'Sesungguhnya Aku, ada di sisi prasangka hambaKu pada diriKu' - Hadits Riwayat Ibnu Majah
Apa yang paling menyenangkan dalam hidup ini? Mungkin saat ini, saya akan menjawab prasangka baik yang saya tanamkan pada diri saya kepada Allah Swt. Seperti yang dikatakan pada hadits di atas, Allah berada pada sisi prasangka hambaNya.

Misal, seringkali kita kecewa dengan diri kita sendiri, merasa kurang baiklah, kurang cantik/ganteng, kurang kurus, kurang gendut, kurang pintar, pokoknya pasti ada kurangnya. Padahal, physically, Allah ada Maha Hebat, dia menciptakan umat-Nya tidak kurang satu apapun, walau secara fisik ada kurangnya. Tetapi dibalik itu semua Dia sudah merencanakan itu sebaik mungkin, bukan?

Bukankah, jika kita meratapi ciptaan-Nya karena merasa itu tidak cukup baik jika dibandingkan dengan yang lain, berarti kita telah 'menyinggung perasaan' Dia yang telah menciptakannya. Seperti kita terus menangisi kenapa kita tidak sebaik yang lain.

Sama halnya, ketika kita khawatir terhadap masa depan, takut inilah, takut itulah. Padahal, seharusnya kita percaya akan kemampuan terbaik dari diri kita, percaya bahwa kasih Dia di depan akan jauh lebih mempesona dari siapapun yang mengasihi kita.

Lalu, sampai di titik ini, kenapa harus takut?

Letakkan prasangka baik kita pada-Nya, pada jalan yang kita pilih, dan yakinkan bahwa jika ini baik, Dia akan selalu menemani. Mudah bukan?

Karena, sesungguhnya Dia, ada di sisi prasangka hambaNya pada diriNya...
Saya selalu penasaran apa yang difikirkan oleh Nabi Ibrahim a.s waktu diperintahkan oleh Allah swt untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail a.s.

Kalau dia bukan Nabi, mungkin dia tentu akan murtad dari agamanya, mungkin. Ini hanya hipotesis saya sendiri. Mengorbankan harta yang paling berharga mungkin (lagi) adalah hal yang paling sulit di hidup ini.

Tapi Nabi Ibrahim pasrah. Dia bertaqwa kepada Allah, dia mencintai anaknya, tetapi dia lebih mencintai Allah, dan dia percaya atas segala yang telah Allah pilihkan untuknya.

Ilmu yang nampaknya belum pula dimiliki oleh hampir semua manusia di dunia ini, telah dijalankan oleh Nabi Ibrahim baik-baik, dia ikhlas. Dia ikhlas karena dia mengerti. Dan begitu pula sebaliknya, dia mengerti karena itu di ikhlas.

Akhirnya, Allah menggantikan Nabi Ismail a.s, dengan seekor kambing. Sebagai, tanda kasih-Nya, atas ketaqwaan Nabi Ibrahim a.s.

Lalu, Allah menuliskan kisah ini pada Al Quran-nya, sebagai tanda agar umat-Nya dapat belajar banyak kepada kisah nabi-nabinya.

Dengan begitu pula, seharusnya manusia dapat belajar untuk ikhlas karena janji-Nya begitu indah setelah kita mentaati segala perintah-Nya dan meyakini bahwa pilihan-Nya adalah yang terbaik.

memantaskan diri

Definisi jodoh itu apa sih? Pernah ga terbayangkan di otak kita masing-masing, gimana sih bentuk jodoh masa depan kita?

Pasti jawabnya, gantenglah, atau putihlah, atau mancunglah, atau bla-bla.

Tapi kadang, orang yang nantinya, ke depannya, jadi pendamping hidup buat 2/3 sisa umur kita, malah orang-orang di luar ekspektasi kita yang pada akhirnya kita masih bisa kok mencintai mereka tanpa habis #sedap.

Saya tuh sering banget liat orang-orang menuliskan 'jodoh itu sudah tertuliskan di Lauhul Mahfudz kita, tepat pada saat ditiupkan roh saat masih menjadi janin umur 5 bulan'.

Tapi, kalo menurut saya, jodoh adalah dia yang merupakan cerminan dari diri kita sendiri, loh! Mari kita menyimak hadits di bawah ini,

"Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga." [Bukhari no. 3208, Muslim no. 2643]

Liat kalimat, '... kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya...'. Tuhkan, tidak ada kata 'jodoh' disana.

Makanya dari hadits ini, saya makin yakin, sama Surat An Nuur 26, yang bunyinya,

”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)..." [Al QUran surat An Nuur 26]

Terus nay? Maksudnya kumaha eta teh?

Maksudnya adalah, jelas banget dari An Nuur 26, kalo kita pengen punya suami yang shaleh, kita harus bisa jadi istri yang shaleha. Kalo pengen punya suami hafidz, yang kita mulai dari jadi hafidzah, sesederhana itu loh konsep jodoh.

Jadi daripada sibuk ke sana-kemari mencari siapa sih dia yang punya tulang rusuk kita, lebih baik kita memantaskan diri dulu nih, buat orang yang nantinya jadi jodoh kita. Ikhtiar ajah sebaik-sebaik mungkin, untuk menjadi manusia yang baik pula. Kemudian tawakal kepada Alloh, bahwa Dia akan membukakan jalan bagi kita. Dan yang terakhir ikhlas atas apapun pilihannya.

Kalo ternyata, sekarang nih kita lagi berhubungan dengan seseorang, tetapi di ujung cerita malah batal. Atau kita lagi naksir orang, tapi orangnya malah milih orang lain. Itu artinya, bisa dua! Kita memang belum pantas buat dia lagi. Yang kedua, kita terlalu baik untuk dia sehingga Alloh akan memberikan yang jauh lebih pantas buat kita.

Nah dari sini, dari memantaskan diri sebaik-baiknya, kemudian nanti endingnya kita mendapatkan pasangan yang sama baiknya, insya Alloh akan menghasilkan keturunan yang baik pula, dan seterusnya-dan seterusnya.

Gampangkan!

Iyah gampang, Nay! Ente gimana? Ngomong doang nih pasti!

Ah, ga juga, saya ini nulis beginian, sekalian ng-warning diri sendiri kok. :p

Okeh deh! Semoga dengan ikhtiar untuk memantaskan diri, bisa mendapatkan jodoh yang sebaik-baiknya yah, tumbs! Aamiin!

top