Zakaria

Saya mau cerita dulu, saya suka suka banget dengan sebuat kalimat penuh pasrah dari seorang Nabi kita bernama Zakaria, isinya begini,

'… Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu ya Tuhanku..'

Kalau bagi saya, doa ini terlampau bagus sekali (tentu saja karena yang berdoa itu adalah Nabi), di sini posisinya Zakaria sedang mengadu, meratap betapa dia galau karena belum memiliki keturunan untuk meneruskan tugasnya. Saat itu umur Zakaria (kalau tidak salah) hampir menyentuh 100 tahun #cmiiw. Berarti selama 100 tahun sebelumnya, dia sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya, sudah banyak yang dilalui, tapi tak pernah sedikitpun dia kecewa atas doanya, kepada Tuhannya. Di sini tersirat juga rasa syukur yang begitu besar, saya memaknainya rasa syukur tentang apapun yang telah dia lalui atas apapun yang terjadi pada seratus tahun ke belakang.

Dan jika diserap lagi maknanya (menurut saya, semoga Allah mengampuni saya), ada begitu besar kepercayaannya kepada Tuhan penciptaannya. Sungguh mulia Zakaria AS, nabi kita semua. 
Hidup ini dimulai dengan kata percaya. Muhammad Saw itu memiliki julukkan yang 'terpercaya'. Dan Khadijah adalah orang yang paling mempercayai beliau, untuk mempercayai tentang Tuhan yang diceritakan Nabi Saw. Semuanya dimulai dengan kata percaya. Lalu kita ikut mempercaya Muhammad atas pesan-pesan dari Tuhan yang dibawanya. 

Menurut hadits Arba'in, tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Kalau dari pandangan saya Islam (dengan rukun Islamnya) dan Iman (dengan rukun imannya), adalah saling melengkapi. Islam artinya kita melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh Tuhan, syahadat, shalat, puasa, bayar zakat, dan naik haji bila mampu, tapi takkan lengkap jika kita tidak beriman kepada Tuhan, Malaikat-malaikatNya, RasulNya, KitabNya, Hari AkhirNya, dan ketentuan-ketentuan tetap (Qada dan Qadar-Nya). Kita takkan bisa berIslam saja, tanpa beriman, dan takkan sempurna jika berIman tanpa berIslam. Kemudian tahap ketaatan paling tinggi adalah Ihsan, percaya bahwa dia melihat segala yang kita lakukan. 

Semuanya dilandasi dengan rasa percaya. Zakaria percaya kepada Tuhan akan dikabulkan doaNya. Dan Muhammad butuh kepercayaan umat agar mampu berdakwah dengan baik, dan dengan baiknya pula Tuhan mengirimkan Khadijah padanya. Dan semua ini karena sebuah hal bernama takdir.

Takdir yang telah ditetapkan Tuhan saat kita masih berbentuk nutfah di dalam rahim, yang kemudian Tuhan dengan sigapnya menuliskan di Lauhul Mahfuz pada data-data kita. Luar biasa. Bukan Tuhan tentunya jika tak mampu mengatur segala hal dengan sedemikian sempurna.

Dari sini, saya mau menarik benang merah dari tulisan saya. Zakaria dalam doanya, ada kepasrahan, ada rasa syukur yang begitu besar, ada rasa kepercayaan akan takdir-takdir selanjutnya dan juga sebelumnya. Dan Zakaria AS, sukses membuat saya berfikir panjang saat membaca doa yang dia panjatkan. Percaya akan takdir yang telah dibuat Tuhan untuk kita semua. Einstein bilang, Tuhan tidak sedang bermain dadu dalam menciptakan dunia ini, termasuk segala isinya. Tentu mereka yang mengaku muslim harus percaya, bahwa takdir utama kita diutus untuk hidup di dunia sesuai dengan perintahnya yaitu,

'... Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu.'

Sesederhana itu. Dia tidak menciptakan manusia, kecuali untuk menyembahNya, yah tentunya pengertian ayat ini akan berlanjut pada penjelasan yang panjang, dan tidak akan saya tuliskan di sini.

Sungguh, saya menuliskan ini karena terlalu lama bergemuruh di dalam otak dan harus segera dilahirkan. Kepada Allah saya mohon ampun. Jika ada kritik sila di sampaikan. Wallahu a’lam bish shawabi ~
10 Oktober 2012

Jadi begini. Ntah mengapa beberapa hari ini saya terus-terusan memikirkanmu, tidak secara spesifik memikirkanmu, karena saya benar-benar tidak tahu siapa kamu, dimana kamu, dan sedang apa kamu (for reader’s information, saya sedang tidak menyanyikan lagu Kangen Band, sungguh). Yang pasti saya benar-benar clueless tentang kamu, karena itu saya sedikit berdebar-debar jika membayangkan tentangmu.

Saya membayangkan, jika suatu saat kita, ehm, -sebut saja bertemu karena memang sudah takdirNya yang membawa kita berdua untuk bertemu- apakah saya sudah benar-benar siap untuk bertemu dengan kamu (dan begitu juga kamu), kemudian -dengan sedikit geli saya harus mengatakan- menjalin cinta dan kasih yang juga sudah ditakdirkanNya kepada kita berdua.

Kamu, mungkin saja lelaki yang sudah saya kenal sejak lama tapi tak pernah saya perhatikan dengan seksama. Atau bisa saja salah satu dari sahabat-sahabat lelaki (gila) saya saat ini -tapi sungguh semoga tidak. Atau kamu adalah musuh politik saya sewaktu menjadi aktivis kampus. Atau mungkin kamu adalah lelaki yang pernah membaca buku yang sama di sebuah toko buku yang saya dan kamu kunjungi. Atau malah bisa jadi kita tak pernah mengenal sama sekali, tak pernah berada di ruang dan waktu yang sama (bisa saja saya di Selatan dan kamu di Utara di arah mata angin milik kita berdua) tapi Tuhan mengikat kita dengan seutas benang merah yang tak pernah kita ketahui.

Kamu biasa siapa saja. Dan saya tidak akan pernah tahu sampai kita benar-benar bertemu, kemudian kamu datang ke ayah saya dengan segala keberanian yang kamu miliki.

Jika saya egois, tentu saya akan berdoa pada Tuhan bahwa kamu harus berambut gondrong, hitam manis, rapih dengan kemeja dan celana jeansmu, lalu rokok Gudang Garam, dan tidak ketinggalan motor Tiger merahmu. Tapi saya tidak hanya ingin satu-dua hari bersamamu, saya ingin berhari-hari menghabiskan hidup denganmu. Karena saya rasa semua kriteria yang saya sebutkan di atas, saya tak yakin bisa membawa kamu, saya, dan anak-anak kita ke surga. Tapi saya janji, saya akan selalu berdoa semoga kamu bisa menjadi imam yang baik bagi saya dan ayah yang amanah bagi anak-anak kita kelak.

Karena hidup saya nantipun, tidak akan jadi hidup saya sendiri lagi. Hidup saya akan jadi bagian hidupmu, dan begitu sebaliknya. Dan hidup kita akan menjadi hidup anak-anak kita kelak, karena hidup mereka adalah bagian dari hidup kita.

Saya tahu terlalu picisan saya menuliskan ini untuk kamu yang bahkan ntah siapa. Tapi sungguh saya tidak tahu lagi harus berbuat apa (selain berdoa dan mengadu padaNya). Anggap saja ini bentuk ke(tidak)sabaran saya menunggu makin didekatkannya benang-benang penghubung kita berdua oleh-Nya.

Untuk kamu -yang bisa siapa saja-, selamat malam (sungguh semoga segera kita berada pada dimensi -ruang dan waktu- yang sama, aamiin).

Menikah

Beberapa minggu yang lalu, waktu saya ngobrol panjang dengan Kak Kaca, banyak hal yang menyadarkan saya tentang hal bernama ‘menikah’. Pada saat saya berumur 19 tahun, itu sekitar 4 tahun yang lalu (astaga tua banget gue cuy!), saya sebenarnya bercita-cita menikah di umur 20 tahun, dan itu tanpa persiapan dan juga tanpa usaha untuk mendapatkan jodoh yang tepat. Saya pengen nikah, biar ada ‘temen halal’ yang bisa diajak kemana saja dan kapan saja, tanpa perlu risih. Dan ternyata, saya belum berhasil mewujudkan mimpi saya yang waktu itu.

Setahun yang lalu, saya bercita-cita kembali, ‘harus banget nikah tahun 2012’. Alasannya? Saya mau punya temen hidup satu visi-dan-misi yang mampu menemani saya untuk mencapai mimpi-mimpi saya, dan tentunya menjaga ‘segala’ yang telah saya miliki saat ini, termasuk stabilitas iman. Suami itu menurut saya, adalah orang yang paling tepat (setelah ibu) yang mampu menjaga stabilitas iman yang sering naik-turun. Apalagi, kehidupan pasca-kuliah itu, mengerikan (kata orang-orang), yang pasti kita kehilangan teman-teman dekat yang dulu selalu ‘menjaga’ kita dengan aman. Belum lagi, bagi saya, pasca-kuliah itu, pencarian jati diri yang sesungguhnya dimulai, idealisme-idealisme masa menjadi mahasiswa dulu mulai diuji kesungguhannya, istiqomah atau tidak diri kita ini atas apa yang sudah dibangun dulu. And, for sure, we need life-long-partner to remind us, walking beside us, together and forever.

Setelah mengobrol banyak dengan beberapa orang tentang menikah. Saya menarik kesimpulan bagi saya sendiri, menikah itu adalah keberuntungan, dimana kesiapan bertemu dengan kesempatan, dan keberuntungan itu yang kita buat sendiri. Menikah itu bukan lagi jadi sekedar kebutuhan, dimana kita butuh life-long-partner hanya sekedar untuk mengingatkan kita bangun pagi, ngingetin tahajud, shalat, puasa, ngaji, dan berlaku baik-baik, menikah tidak sesederhana itu.

Kitalah, diri kita sendiri yang seharusnya bisa konsisten untuk melakukan itu semua. Saya tidak ingin menikah untuk berubah jadi lebih baik, dan saya juga nggak kepingin memperbaiki diri agar bisa menikah. Saya mau jadi manusia yang baik -sesuai dengan keinginan Tuhan saya- yah untuk diri saya sendiri, bukan untuk siapa-siapa dan bukan untuk apa-apa.

Tahun lalu saya merasa bersalah sekali dengan diri saya, dan sulit sekali memaafkannya. Dan (bodohnya) saya pikir dengan menikah bisa menyelesaikan masalah saya. Karena, saya tidak akan galau lagi. Karena saya punya temen ngobrol sepanjang malam. Karena saya akan mencari orang yang juga gemar membaca buku, biar saya punya teman diskusi sepanjang waktu. Tapi bukan itu, point-nya ternyata. Kak Kaca mengingatkan saya, dia bilang, ‘Kalau kamu belum ‘selesai’ dengan dirimu sendiri. Bagaimana mungkin menambahkan orang lain, Dek.’ That’s the point. Dan saya tersadar, benar-benar tersadar. Saya harus selesai urusan dengan diri saya sendiri. Saya tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

Menikah juga buka perlombaan. Waktu saya tahu sahabat baik saya menikah tahun lalu, ada perasaan ‘gue juga mauuu tahun ini’. Tahun ini bahkan, orang-orang terdekat saya malah mulai menikah satu-per-satu. Takut ditinggal? Pasti! Mungkin kalau di arena balap, kita boleh saling mendahului. Dan menikah tidak terjadi di arena balapan. Ini masalah nikah! Masalah menghabiskan sisa 2/3 umur kita, dan jangan sampai gelap mata karena liat orang lain bisa duluan, lalu kamu jadi tergesa-gesa dan ingin mendahului. Karena setiap orang, sudah punya takdirnya masing-masing, and the importan things that you must remember is, you’ll have your own fate. Your prince charming, will come at the right time and with right reason.

Saya selalu berangan-angan, life-long-partner saya ini seperti apa sih nantinya. Setiap perempuan (begitu juga laki-laki) pasti punya ‘checklists’-nya sendiri. Ada yang ingin ganteng, tinggi, jago basket (anak SMA banget ini, haha), mantan aktivis kampus, atau hobi baca buku. Tapi, kamu yakin, orang-orang yang sesuai dengan checklist ini adalah yang tepat bagi kamu? Kadang mereka yang dikirimkan oleh Tuhan -dan berbeda jauh dengan ‘checklists’ milik kamu ini- adalah yang paling tepat kamu. God always knows what you need, guys. Tapi walau, Tuhan Maha Baik dan Maha Tahu Segalanya atas kebutuhan kita. Saya percaya Dia tidak egois, Dia adalah tempat curahan terbaik. Dia tahu, tapi Dia menunggu. Dia tahu yang terbaik buat kita, tapi Dia menunggu kita untuk memohon agar makin meyakinkan Dia bahwa kita percaya dengan pilihan terbaiknya. Dan doa akan selalu jadi kuncinya.

Saya ga tau, prince charming saya ini datang kapan. Hari ini, besok, bulan depan, tahun depan, atau tiga tahun lagi. Kayak saya bilang di atas, menikah itu salah satu bentuk keberuntungan, dia datang saat kesiapan bertemu dengan kesempatan. Jadi saya cuman butuh siap-siap (dan tidak berhenti berdoa), jika nanti kalau kesempatannya udah datang, i can face it!

‘Getting married isn’t going to solve our inabilities to wake up for Fajr or get up for qiyam. We need to develop our own selves without expecting marriage to somehow magically change our lives. Marriage can be a great tool of self-improvement and can help us change for the best, with Allah’s will. Marriage is amongst the greatest blessings that Allah (swt) can bestow on a person; and the creation of a family, and taking care of that family, is amongst the greatest acts of worship. But if we are not personally working on ourselves now, how can we expect that it will be easier with the additional baggage of another individual who is also imperfect?’ - Maryam Amirebrahimi 

Terimakasih yang merelakan waktunya untuk membaca tulisan ini, selamat pagi dan semoga kebaikkan selalu bersama dengan kita! Aamiin!
top