Pendidikan Toleransi dalam Beribadah

i believe the children are our future 
teach them well and let them lead the way 

 Saya masih ingat, sekitar 2 tahun yang lalu, saya mulai percaya bahwa tidak ada anak yang nakal di dunia. Saya dan teman-teman saya, waktu itu saat masih mengajar di skhole, kami berjanji tidak akan memarahi anak dengan kata ‘nakal’. Pak Kobayashi -kepala sekolah Tomo Gakuen- pada buku Totto Chan-pun, tidak pernah memarahi anak-anak dengan sebutan nakal, dia selalu berkata, ‘kamu anak yang baik, bukan?’. Semua dari mereka terlahir baik, karena mereka adalah cahaya bagi dunia ini. Begitupun sekarang, saya masih percaya tidak ada yang nakal, hingga nanti seterus-seterusnya, saya akan percaya.

 Pak Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya ‘Menuju Manusia Merdeka’ pernah menuliskan tentang anak yang baru lahir, mereka bagaikan selembar kertas putih, orang dewasa (dalam hal ini orangtua mereka dan guru-guru mereka)-lah yang bertugas untuk mengisi kertas putih tersebut. Orangtua dan gurulah, yang memiliki tanggung jawab besar akan menjadikan anak itu seperti apa ke depannya. Dalam buku lain tentang pendidikan anak usia dini yang pernah saya baca, masa keemasan anak terdapat pada usia 0 hingga 7 tahun. Pada masa-masa itulah, masa depan, atau karakter anak akan ditentukan ke depannya. Dari sini, kita melihat, bahwa yang menentukan anak baik-atau buruk ke depannya adalah bagaimana, orangtua mendidik mereka.

 Beberapa waktu yang lalu, ada kasus seorang anak SD yang mencuri telepon genggam miliknya, dan kemudian menusuk temannya dengan pisau karena ketahuan mencuri. Lalu, Komnas Anak membantu proses hukum yang diberikan pada anak tersebut. Dan, saya masih ingat betul, Kak Seto sempat berkata, bahwa ‘pelaku penusukkan’ sebenarnya juga adalah korban. Korban akibat pendidikan yang didapatkannya tidak baik. Bisa salah orangtua, lingkungan sekitarnya (pergaulan dia di sekolah), bahkan mungkin pemerintah karena tidak memberikan tayangan yang baik di televisi, yang mencontohkan banyak sekali adegan kekerasan yang tidak mampu dicerna dengan baik.

 Dalam hampir satu minggu ini, saya menyaksikan betapa masih banyak orangtua yang masih belum mampu mendidik anaknya dengan baik. Shalat taraweh itu baik, mengenalkan pendidikan agama sejak anak-anak itu juga baik. Tapi mengganggu ketentraman/kekhusyukkan orang lain saat beribadah, sepemahaman saya itu tidaklah baik. Mengaji dengan suara keras saja, jika ada orang lain yang sedang beribadah dan mengganggu tidak boleh. Padahal mengaji adalah bentuk ibadah. Taraweh, yang sunnah hukumnya, tidak wajib dilakukan di masjid, bahkan tidak berdosa jika tidak melaksanakannya, seharusnya tidak memberatkan para orangtua dengan membawa anak-anaknya yang belum mengerti betul gunanya beribadah.

Ntahlah, saya memang belum berkeluarga, tapi saya berjanji, jika kelak nanti saya punya anak, saya tidak akan mengajak mereka shalat taraweh sampai mereka mengerti betul betapa pentingnya shalat tersebut. Pendidikan agama itu penting, mengenalkan anak lingkungan masjid juga tidak kalah pentingnya, tapi tidak mengganggu orang lain yang ingin beribadah tentu akan lebih baik lagi bukan? Pernah ada suatu kisah, Rasulullah saw mendapati seekor kucing meniduri jubahnya, tetapi karena Rasulullah saw tidak ingin membangunkan kucing tersebut, dia membiarkan kucing tersebut untuk tetap tidur di atas jubahnya. Hubungannya dengan orangtua yang membawa anak-anaknya yang masih anak-anak ke masjid saat shalat taraweh adalah, sebegitu pengertiannya Rasulullah tidak ingin mengganggu orang lain, bahkan hewan sekalipun.

 Toleransi. Saat ini, adalah barang yang mahal di negara ini. Betapa banyak kasus toleransi yang tidak habis-habisnya dibahas. Untuk ukuran sesederhana ini - membiarkan orang lain beribadah sebaik-baiknya - saja sesama umat muslim. Apalagi, toleransi kepada mereka yang berbeda agama. Orangtua-orangtua tersebut tidak mampu mendidik anaknya agar menghormati orang lain yang ingin beribadah dengan khusyuk. Orangtua-orangtua itu membiarkan ego mereka yang juga ingin beribadah, tanpa memperhatikan kebutuhan orang lain. Jadi, jangan salahkan, jika 20 tahun lagi, akan banyak terjadi perdebatan - permusuhan, akibat tidak adanya toleransi satu dengan yang lain.

 Saya tak mampu menyalahkan perilaku anak-anak yang gemar bermain di dalam masjid, teriak dan menangis di kala imam sedang dengan khusyuknya membacakan ayat Al Quran, atau bahkan berlarian di sepanjang shaf hingga hampir menginjak kepala orang yang sedang shalat. Tidak ada anak yang nakal, yang ada orangtua tidak mampu mendidik anaknya dengan baik. Mereka tidak mampu disalahkan, karena mereka belum mengerti betul memisahkan mana perbuatan yang baik dan buruk. Yang salah, menurut saya adalah tetap orangtuanya, karena tidak mampu untuk mendidik anak dengan baik.

 Ntahlah, ini hanya perenungan bagi saya saja, agar kelak jika saya memiliki anak suatu saat nanti. Saya tidak akan membiarkan ego saya beribadah hingga menyusahkan orang lain yang juga ingin beribadah. Akan ada banyak cara mengajarkan anak pendidikan agama sejak dini, mengenalkan mereka dengan lingkungan masjid. Dan mengajak mereka taraweh sejak usia dini, menurut saya bukanlah solusinya.

 Wallahua’allam bissawap. Kepada Alloh saya mohon ampun.

noitalpmetnoc

Beberapa waktu yang lalu saya menyelesaikan kembali sebuah buku berjudul, ‘Debu, Duka, Dsb’ tulisan Goenawan Mohamad. Saya tidak akan menceritakan keseluruhan isi buku tersebut. Ada hal menarik yang membuat saya sedikit kaget setelah membaca buku tersebut, lagi.

‘Debu, Duka, Dsb’ adalah buku ketiga dari Goenawan Mohamad yang saya baca. Secara garis besar, GM mencoba memberikan bantahan terhadap para theodis. Waktu pertama kali saya membaca buku ini, tentu banyak sekali resah yang bergejolak terjadi dalam diri saya, karena isu yang diangkat oleh buku ini cukup kompleks dan ‘bahaya’, tentang keadilan, takdir, kematian, Tuhan, dan lain-lainnya. Menariknya, di awal-awal membaca buku ini, timbul pertanyaan-pertanyaan baru yang menggugah saya untuk mencari jawabannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah saya fikirkan, pertanyaan- yang mungkin sedikit/banyak menggunggat Tuhan dan menggoyahkan apa yang sudah saya imani selama ini. Lucu yah, hanya dari sebuah buku dan pemikiran seseorang mampu memberikan efek yang cukup luar biasa kepada pembacanya. Tapi semakin saya larut dalam buku ini, saya malah semakin menemukan Tuhan dan keadilannya.

Saya malah makin tak sepaham dengan tesis-tesis yang diberika oleh GM. Saya makin bersemangat mengkoreksi bahkan mengkritisi yang GM tulis. Sebuah buku antitesis bagi para theodis, malah membantu seorang manusia melihat betapa adil Tuhannya. Atau mungkin memang itulah ‘subliminal message’ dari buku ini, ntahlah. Sama hal waktu saya membaca ‘Catatan Seorang Demonstran’, saya kagum dengan Soe Hok Gie, tapi bukan berarti saya mengamini dan mengimani apa yang dia tulis, toh sampai detik ini saya masih tak sepaham dengan metode kritik dia terhadap pemerintah. Bahkan ada beberapa orang yang mengintepretasikan tulisan-tulisan Soe Hok Gie ini adalah sekedar omong kosong belaka.

Kadang kita, manusia, ketakutan duluan ketika melihat sesuatu yang bukan ’kita banget’, sehingga kita jadi malas untuk mengenalnya. Kadang kita tidak mampu menghadirkan sudut yang berbeda pada cara berfikir kita dalam melihat sesuatu. Kadang pula kita terlalu malas mengkritis dan mengkaji kembali apa yang telah kita dapati, sehingga seringkali menelan mentah-mentah informasi tersebut.

Ketika, saya sebelumnya ketakutan membaca suatu buku yang- mungkin mampu merusak apa yang telah saya imani. Saya ternyata salah. Sudut pandang yang baru itu mampu membantu saya makin mengimani apa yang telah saya imani.

Saya jadi belajar, bahwa saat kita menemukan informasi baru yang tidak sepaham dengan saya atau malah juga sangat saya imani, saya tidak bisa terus saja menelan mentah-mentah informasi tersebut tanpa melakukan filterisasi, yaitu mengkaji ulang atau mengkritisi kembali. Karena Tuhan tentu memberikan kita akal untuk berfikir, bukan untuk menjadi hal yang sia-sia. Dan dalam proses filterisasi informasi itulah, akal akan berperan penting.

Sekian tulisan kurang penting dari saya. Terimakasih buat yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca ini. Have a nice day :)

[IM-HAN] Selamat Hari Anak, Indonesia

Selamat Pagi, Nak!


Nak, apakabarmu? Masih indahkah hari-harimu? Kudengar langit di kota tempat kau tinggal berarak awan putih di langit yang biru, jika senja datang maka warna birunya menjadi kemerah-merahan. Indahnya tiada tara, kau pasti bahagia kan? Berbeda dengan kami di kota. Jika senja datang, tak akan sempurna senja yang terlihat karena tertutupi gedung kota yang tinggi belum lagi langit berwarna abu-abu akibat asap debu polusi kendaraan membuat langit kami kotor, akibat kami susah sekali menyayangi langit kami. Semoga dikotamu, langit akan selalu dan terus berwarna biru dengan awan putih yang berarak indah, karena ada kau yang menjaga dan menyayanginya. 

Nak, bagaimana sekolahmu? Kudengar jika kau akan pergi sekolah harus melewati banyak sekali rintangan. Sungai dengan jembatan yang putus. Lalu hutan dengan jalan setapaknya. Atau padang rumput nan hijaunya. Sulit yah? Mungkin lelah yang kau rasa hanya untuk pergi sekolah, banyak sekali perjuangan yang kau harus lakukan. Tapi karena itu kau menjadi anak yang luar biasa. Kelak kau akan mensyukuri itu semua, karena mereka yang berjuang, adalah mereka yang pantas disebut pahlawan, baik untuk mereka sendiri dan semoga untuk orang lain kelak. 

Nak, bagaimana pelajarannya susahkah? Kudengar engkau anak yang pandai dan tak pernah patah semangat dalam menimba ilmu. Segalanya memang terasa susah di awal, tapi jika kau menjalani dengan sepenuh hati dan penuh keikhlasan, pasti akan terasa gampang dalam menjalaninya, percayalah. Kau tetap harus bersyukur masih bisa bersekolah bertemu dengan teman-teman dan bapak-ibu guru yang baik hati. Di sini dikotaku, masih banyak anak-anak yang tak mampu bersekolah, ingin belajar tapi tak pernah bisa, mereka menghabiskan waktu-waktunya di jalanan untuk mencari uang demi makan. Kelak jika kau ke kota, kau akan menemukan mereka di setiap sudut kota. Tanpa alas kaki. Bahkan, kadang tanpa orangtua.

Nak, bagaimana kabar ibu dan bapak? Tentu sehat, semoga! Mereka pasti bangga sekali dengan anak sepertimu, selalu sehat, cerdas, ceria, dan tentu saja bersemangat untuk bersekolah. Itu pasti karena mereka selalu mendoakanmu untuk jadi anak yang pandai dan patuh kepada orangtua, sayang kepada teman-teman sebaya, serta mencintai negara Indonesia, semoga! Jangan berhenti mencintai mereka, nak! Jadilah anak yang berbakti untuk mereka.

Nak, apa cita-citamu masih yang sama? Semoga kau masih menggantung cita-cita setinggi langit. Jadi apapun kau boleh, astronot yang pergi ke bulan, nelayan yang menjaring ikan, dokter yang mengobati orang sakit, arsitek yang membangun gedung-gedung tinggi, atau menjadi petani yang menanam beras. Semuanya boleh, nak! Kau boleh menjadi apapun yang kau inginkan, dan harapanku kau selalu memiliki mimpi yang selalu ingin kau gapai. Karena itu, belajarlah dengan rajin, nak! Manfaatkan apa yang telah kau miliki saat ini. Suatu saat mimpi-mimpi akan terwujud dengan doa alam semesta.

Nak, mungkin kita tidak pernah berjumpa sebelumnya, aku tidak pernah mengenalmu, kau juga tidak pernah mengenalku. Tapi percayalah, kita terhubung dengan langit yang sama, melihat bulan dan bintang yang sama pula. Karena itu akan kutitipkan doa pada bulan dan bintang, agar kau selalu jadi anak yang baik hati kebanggaan Indonesia, agar kau selalu bahagia dalam perjalananmu menimba ilmu hingga suatu saat nanti saat kau dewasa mampu membuat dunia tersenyum bahagia. Amin.

Salam Sayang.
Palembang, 23 Juli 2012. Surat untuk Anak Indonesia, dimanapun kau berada. Selamat Hari Anak, Indonesia

Jilbab

Beberapa hari yang lalu, saya baru menyelesaikan buku Jilbab milik Quraish Shihab. Sejujurnya saya tidak terlalu tertarik membaca buku ini, karena saya sudah menggunakan jilbab dan lagipula dari yang saya tahu Quraish Shihab bukanlah ulama yang menganjurkan penggunaan jilbab.

 Tapi akhirnya (setelah dianjurkan teman saya), saya memutuskan untuk mencoba menyimak pendapat penggunaan jilbab dari berbagai macam pandangan terkait perkara jilbab dan batas aurat perempuan. Saya tidak akan membahas isi buku ini dengan begitu lengkap, saya hanya akan menceritakan secara kulit luarnya saja, karena tentu intrepertasi orang akan berbeda-beda setelah membaca buku ini, seperti saya.

 Di awal buku, Qurais Shihab menjelaskan tentang perbedaan pendapat yang umum sekali terjadi di kalangan ulama muslim, tidak bisa dibantah pula jika mahzab saja bisa sampai ada 5 macam, tapi ada bagian yang menarik yang dipaparkan buku ini. Walau berbeda-beda mahzab, para ulama-ualam terdahulu saling menghormati pendapat ulama dan pengikut yang melaksanakan mahzab-mahzab tersebut. Dan yang paling membuat salut adalah bagaimana mereka dengan lapang dada menerima keberagaman, tanpa perlu saling menghakimi yang lain adalah kafir.

 Di buku ini juga dijelaskan pandangan-pandangan terkait jilbab dari segi Al Quran dan hadits shahih maupun yang bukan yang sering kali dijadikan acuan berbagai ulama dalam mengajukan argumen-argumennya. Banyak sekali pandangan-pandangan dari ulama yang baru saya ketahui, dan cukup membuat saya terkaget-kaget atas apa yang saya imani. Untuk tafsir kata ‘pakaian’ yang disebutkan dalam beberapa ayat yang berhubungan dengan ‘anjuran’ penggunaan jilbab saja, begitu panjang penjelasannya. Begitu pula terkait batas-batas aurat yang ternyata banyak menimbulkan perdebatan oleh ulama-ulama zaman dulu.

 Saya tidak mampu menceritakan isi buku ini secara keseluruhan apalagi terkait tafsir hadits dan ayat-ayat Al Quran-nya, karena saya takut intrepertasi saya terhadap buku ini, akan beda pemaknaannya dibandingkan jika teman-teman membaca dan mengambil inti sarinya sendiri. Tapi, jujur buku ini begitu pantas dibaca untuk membuka wawasan terkait masalah agama. Saya sendiri, setelah membaca buku ini (insya Alloh) makin mantap menggunakan jilbab panjang hingga menutupi dada. Dari buku ini, saya makin yakin bahwa Alloh dalam firman-firmanNya, sesungguhnya begitu memuliakan umat-Nya, lebih-lebih wanita. Wanita diciptakan sebagai perhiasan dunia, karena itu dia itu indah, sedap dipandang #eciye. Lantas bagi saya, anjuran berjilbab ini sendiri adalah suatu bentuk kehati-hati-an dan kecintaan (atau kasih sayang) saya terhadap diri sendiri, sebagai bentuk penjagaan agar perhiasan itu tetap indah, hehe. Bukan berarti kita, wanita, tidak boleh berhias, tetapi, di akhir buku Quraish Shihab menegaskan bahwa, tidak baik jika seorang perempuan, sengaja memperindah dirinya hanya agar menjadi sorotan agar dikagumi atau dilihat oleh banyak orang.

 Buku ini juga membuka mata saya sekali, terkait masalah betapa seharusnya kita begitu hati-hati dalam menafsirkan hadits dan ayat Al Quran, beberapa hadits yang telah ditafsirkan oleh ulama-ulama atau perawi-perawi yang memang begitu cerdas dan jeli dalam memaknai hadits. Dan yang (sekali lagi) benar-benar membuka mata saya dan sudut pandang saya terhadap ilmu Islam adalah betapa kita-walaupun berbeda-beda pendapat-dalam menafsirkan hadits dan ayat Al Quran, kita tetap harus saling menghormati, walau diperlukan untuk mengingatkan dan diskusi bersama. Karena Islam adalah rahmat bagi semuanya.

 Sekian tulisan saya terkait buku Jilbab milik Quraish Shihab. Jiika ada salah kata kepada Alloh saya mohon ampun, wallahualam bissawap.
top