Membangun Pendidikan Indonesia #3


Sedikit tentang Sekolah Bermain Balon Hijau. Saya disini bukanlah sebagai inisiator, tapi ide teman-teman dan semangat yang dibawa saat membangun sekolah ini bagus sekali, dan semoga mampu menginspirasi.

Teman-teman saya yang bernama Dwi Yoshafetri Yuna, Megariza Latief, dan Linda Studiyanti, merupakan mahasiswa tingkat akhir waktu itu. Saya kebetulan diajak langsung oleh Linda untuk bergabung menjadi guru, mungkin karena tahu latar belakang saya yang menyukai anak-anak, apalagi anak-anak kecil. Jadi saya cukup mengalami jatuh-bangunnya sekolah ini dari awal.

Pertama kali yang mereka lakukan adalah pendekatan dengan ibu-ibu di sebuah posyandu, kemudian mereka menawarkan untuk memberikan pendidikan anak usia dini secara gratis kepada ibu-ibu. Dan setelah melakukan pendekatan, alhamdulillah berdirilah sekolah ini.

Idenya sih sederhana, biar memfasilitasi anak-anak agar bertumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang aktif, cerdas, dan shaleh/shaleha. Tapi selain berfokus pada orangtua, kami juga ingin meningkatkan kualitas ibu-ibunya agar juga menjadi ibu yang cerdas dan melek masalah pendidikan anak, khususnya anak usia dini. Karena itu, setiap satu bulan sekali kami mengadakan pengajian yang isinya selain mengaji bersama juga berdiskusi terkait masalah anak dengan mendatangkan para pembicara profesional di bidangnya.

Kurikulum kami buat sendiri dengan mengacu kurikulum yang dibuat oleh pemerintah dengan modifikasi di sana sini tentunya, sesuai dengan visi-misi yang sekolah kami bawa. Walau sekolah kami masih tergolong informal, tapi sistem yang kami bangun disini, bagi saya sudah cukup baik.

Kami memiliki data tumbuh-kembang anak setiap harinya, sehingga saat pembagian rapor kami bisa tahu anak-anak mana saja yang tingkat kecerdasannya meningkat. Parameter yang kami gunakan di ambil dari paramater keberhasilan yang dibuat oleh pemerintah.

Kami juga mengajak ibu-ibu anak didik kami untuk berpartisipasi atas keberjalanan sekolah ini, mereka boleh memberikan masukkan atas keberjalanan sekolah dan membantu kegiatan-kegiatan sekolah, sehingga cita-cita 'community development' mampu terwujud dengan baik. Dan harapan terbesar adalah masyarakat mampu bergerak sendiri dengan dibantu sedikit pancingan, yaitu sekolah ini mampu berdiri sendiri walau suatu saat nanti kami sudah tidak berada di sana lagi.

Ini sedikit dari cerita saya tentang sekolah-sekolah gratis yang saya dan teman-teman baik saya bangun. Inti tujuan kami sebenarnya adalah fokus dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, dengan tidak hanya mengeluarkan kritik terhadap keberjalanan sistem pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, tetapi kami juga memiliki bukti konkrit atas kritikan kami.

Sekian sedikit tulisan dari saya, semoga bisa diambil manfaatnya.

'The Foundation of every state is the education of its youth' - Diogenes Liberties



Sebenarnya saat saya bilang sekolah jangan kebayang, bahwa sekolah yang saya ceritakan di sini, adalah sebuah bangunan besar dengan banyak murid di dalamnya dan fasilitas lengkap. Sekolah yang saya maksud disini cukup terisi dengan kamu (sebagai guru) dan anak (atau anak-anak) muridmu dan terjadi proses-belajar-mengajar.

Sedikit cerita tentang latar belakang kenapa perlu kita membangun sekolah milik kita masing-masing, beberapa belas tahun yang lalu, mahasiswa di almamater saya menempati kost-kost-an yang berada di lingkungan warga. Mungkin, karena kami 'dianggap' manusia pintar, warga-warga disekitar tempat mahasiswa tinggal, tidak segan menitipkan anaknya untuk dididik pendidikan tambahan di luar sekolah kepada kakak-kakak tingkat saya.

Apalagi, kebanyakan mahasiswa di almamater saya menempati kost-kostan di lingkungan keluarga menengah ke bawah yang anak-anaknya pendidikan di sekolahnya belum cukup, kemudian orangtua tidak sempat atau tidak bisa menemani proses belajar sepulang dari sekolah, tetapi tidak punya uang lebih untuk membayar les tambahan.

Sayangnya aktivitas ini, seiring tahun makin menurun, hingga tiba pada masa saya, benar-benar tidak ada lagi mahasiswa yang mau mengajari adik-adik dilingkungan sekitarnya secara sukarela (kalaupun ada mungkin bisa di hitung satu tangan, paling satu-dua orang). Kalo dari pengalaman yang saya liat, hal ini diakibatkan meningkatnya aktivitas akademis di lingkungan kampus, serta adanya keseganan bagi mahasiswa untuk berbaur dengan masyarakat lingkungan sekitar.

Padahal, knyatanya bahwa mahasiswa juga adalah bagian dari masyarakat itu pula. Sudah seharusnya kita berpartisipasi aktif melebur dan menyatu dengan lingkungan tempat kita tinggal.

Belum lagi, kacau-balau dan carut-marutnya sistem pendidikan di negara kita, sudah seharusnya (lagi) kita berpartisipasi membantu kerja pemerintah untuk menanggulangi bobroknya pendidikan Indonesia. Daripada mahasiswa, melakukan demo meneriakki sedikitnya jumlah APBN untuk bagian pendidikan, alangkah lebih baiknya kita, membantu menjadi guru-sukarela untuk adik-adik yang masih belum mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya.

Nah, dengan latar-belakang itu-lah, saya bersama dua teman baik saya Sri Suryani dan Robbi Zidna Ilman, yang kebetulan mereka sudah memiliki hubungan baik dengan suatu daerah di dekat lingkungan kampus, menawarkan diri kami untuk membimbing adik-adik di daerah tersebut untuk mendapatkan pelajaran tambahan.

Hal ini tidak mendadak dilakukan, tetapi dengan investigasi dan pendekatan yang cukup memakan waktu, karena kami sadar bahwa yang akan kami bimbing ke depannya adalah anak orang, bukan anak kami. Sehingga, alangkah lebih baiknya, kalo kami menjalin hubungan baik dengan keluarga anak-anak tersebut lebih dulu, sehingga bisa mengantongi 'kepercayaan dari mereka'.

Apalagi pada saat itu si ibu RW sempat curhat seperti ini, 'Dulu waktu tahun 90-an, biasanya kalo malem, anak-anak di RW sini dateng ke kostan mahasiswa sambil teriak-teriak, 'Om.. Om.. Mau belajar, Om!'. Terus dia bilang, 'Sayang sekarang udah ga ada lagi...'

Karena, sudah pedekate cukup lama dengan 'Ketua Setempat' yah bisa kepala RT, atau kepala RW-nya, atau siapapun yang dituakan di daerah tersebut serta warga sekitar, kami akhirnya dizinkan belajar-mengajar di daerah tersebut, kami juga di pinjamkan masjid untuk dibiarkan melakukan proses belajar-mengajar. Hal itu sudah berlangsung sejak November 2011, alhamdulillah hingga saat ini proses belajar mengajar masih berlangsung hingga sekarang.

Selain rumah belajar di daerah sekitar kampus. Saya dan teman-teman dari SKHOLE, juga membangun rumah belajar di salah satu panti asuhan di kota Bandung, di daerah Ciumbeleuit. Prosesnya yang dilakukan sama dengan cerita di atas. Kami mendatangi Kepala Pimpinan Panti Asuhan tersebut, dan menanyakan masalah yang dihadapi adik-adik di sana. Dan ternyata sama saja, adik-adik masih kesulitan menerima pelajaran di sekolah, salah satu faktornya adalah karena terjadi 'shock culture'. Asal mereka dari kota terpencil, agak kesulitan menangkap materi yang ternyata terjadi perbedaan antara kurikulum di kota besar dan kota pedalaman (daerah). Lucu yah. Karena itu, mereka (pihak panti) sangat senang waktu kami menginisiasi diadakan kelas belajar di sana agar bisa meningkatkan motivasi semangat belajar adik-adik di sana.

Selain belajar materi sekolah, kami juga sempat memperkenalkan keilmuan yang ada di kampus kami kepada mereka, agar memotivasi tujuan masa depan mereka, agar mereka tahu bahwa ilmu di dunia ini begitu luas dan banyak. Agar mata mereka terbuka luas tentang bidang keilmuan.

Kami juga sempat membuat kurikulum sendiri, walau belum teraplikasikan dengan baik. Gunanya dari pembuatan kurikulum ini sendiri adalah, agar suatu saat nanti, sistem pendidikan yang kacau balau ini dapat terbenahi dengan gagasan-gagasan baru dari kami. Kalau bisa saya bilang, sekolah-sekolah atau rumah-rumah belajar yang kami bangun ini adalah suatu bentuk demo dari rakyat (khususnya mahasiswa) kepada pemerintah atas carut-marutnya sistem pendidikan negara ini.

Bersambung...

Tulisan ini sudah lama saya buat. Dan akhirnya, saya publikasikan sebagai bentuk rasa bersyukur saya karena SKHOLE (organisasi yang pernah saya ikuti) masih bertahan hingga hampir menyentuh umur ke 3. My baby is still growing up.

Pada bagian pertama 'Membangun Pendidikan Indonesia', sebenarnya akan lebih mengarah  ke latar belakang kenapa mahasiswa-mahasiswa Indonesia perlu berpartisipasi aktif dalam sistem pendidikan, khususnya belajar-mengajar.

Kalo kata teman saya Mangunju Luhut Tambunan, 'Semesta adalah sekolah, dan semua makhluk adalah guru bagi makhluk lainnya.'

Dari sini kita bisa menarik benang merah bahwa mengajar adalah profesi yang hampir bisa dilakukan oleh banyak orang. Apalagi, jika seorang mahasiswa yang sudah pasti pernah mengenyam bangku sekolah selama 12 tahun, tentu sudah tahu betul bagaimana rasanya 'diajar'. Di otak kita pasti sudah merekam dengan baik aktivitas 'diajar' yang tentunya akan memberikan peluang yang lebih besar untuk melakukan akibat dari sebab yang sudah didapatkan, yaitu akibatnya adalah 'mengajar'.

Dari latar belakang masalah 'mengajar' tentu, kita tentu harus tahu target siapa yang akan kita 'ajar'. Tahu-kah kalian, bahwa sebagian besar anak-anak Indonesia yang menempuh pendidikan di sekolah umum milik pemerintah tidak mendapatkan pendidikan yang semestinya. Hal ini diakibatkan oleh rendahnya kualitas guru Indonesia, belum lagi fasilitas yang diberikan pemerintah kepada sekolah kadang tidak membantu proses belajar-mengajar tersebut.

Belum lagi, tebang pilihnya penempatan guru dengan kualitas baik dan kualitas 'kurang baik' ke tiap-tiap sekolah. Misal seorang guru dengan hasil penilaian dari dinas hasilnya kurang memuaskan, maka dia akan ditempatkan ke sekolah dengan akreditasi kurang baik pula. Dan sebaliknya, semakin baik penilaian dinas pendidikan terhadap seorang guru, maka guru itu akan ditempatkan di sekolah dengan akreditasi yang baik pula.

Mungkin dari kalian akan bilang, 'Sok tahu banget lo, Nay!'. Hahahaha, saya memaklumi hal ini, apalagi latar pendidikan saya bukan berasal dari jurusan 'pendidikan'. Kebetulan, saya sudah menemui banyak anak yang bermasalah dengan anak-anak pendidikan di sekolahnya, dan seluruh anak-anak tersebut berasal dari sekolah milik pemerintah. Saya juga pernah memberikan pelatihan pendidikan matematika kepada beberapa guru sekolah dasar milik pemerintah, yang ternyata dari hasil pelatihan tersebut, guru-guru tersebut memberikan hasil yang tidak bisa dibilang memuaskan.

Untuk beberapa kasus di atas, memang seharusnya saya tidak bisa menarik kesimpulan bahwa pendidikan sekolah di Indonesia bermasalah (baiklah, saya akan mulai mencari data yang benar-benar akurat, dan tidak hanya berdasarkan pengalaman saya di lapangan saja, hahaha). Tapi saya juga melihat betapa marak munculnya bimbingan belajar di tiap-tiap kota. Dari situ, sebenarnya, saya bisa membuat hipotesis sendiri, bahwa pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia sebenarnya ada yang ga beres.

Seharusnya, pendidikan sekolah itu sudah lebih dari cukup buat anak-anak Indonesia, tapi nyatanya, masih banyak sekali anak-anak yang kesulitan menerima pelajaran di sekolah mengakibatkan mereka akhirnya mencari 'bimbingan belajar dengan rumus cepat-tangkap'.

Kalo sudah begini, makna pendidikan itu sendiri sudah lenyap dibawa angin pantai ntah kemana. Lalu, pernah-kah kita bertanya buat apa sih kita sekolah? Ataukah hanya ujung-ujungnya nilai yang akan membawa kita ke gaji dan posisi tertinggi dalam suatu perusahaan kah tujuan akhir kita?

Bersambung....

catatan harian buguru #3


Karena kemungkinan ini adalah dua bulan terakhir saya mengajar di Sekolah Bermain Balon Hijau, huks. Maka, dengan senang hati saya akan menuliskan apa yang saya lakukan selama mengajar setiap harinya (senin-rabu-jumat).

Anak-anak itu...

Kemarin saya baru menyadari, banyak hal-hal yang bisa disebut 'priceless' saat berinteraksi dengan mereka, anak-anak itu. Mungkin, mereka mengira, merekalah yang banyak belajar dari kami. Kami, guru-gurunya, memberikan pendidikan untuk mereka, anak-anak itu.

Kenyataannya, kamilah, khususnya saya, yang jauh lebih banyak belajar. Tentang anak, tentang kejujuran, tentang kepolosan, tentang bagaimana tetap harus tersenyum menghadapi dunia.

Mereka semacam candu bagi saya, yang harus terus-terusan saya hirup agar tidak sakau saat menelan kepahitan melihat dunia yang sebenarnya.

Mereka semacam pengobat rindu, bagi mereka yang akan terus kehilangan cinta yang sesunggunya karena beranjak dewasa.

Mereka semacam kasih yang tulus, yang mengobati luka akibat dirobek oleh keganasan dunia.

Mereka adalah cinta dan cinta adalah mereka.
 
Apapun yang akan mereka, anak-anak itu, hadapi kedepannya. Sebagai ibu, walau mereka tak pernah lahir dari rahim saya, saya akan selalu mendoakan mereka agar selalu mampu melihat indahnya dunia ini, agar mereka takkan pernah terluka.

Where every moment spent with you is a moment I treasure...

catatan harian buguru #2


Karena kemungkinan ini adalah dua bulan terakhir saya mengajar di Sekolah Bermain Balon Hijau, huks. Maka, dengan senang hati saya akan menuliskan apa yang saya lakukan selama mengajar setiap harinya (senin-rabu-jumat).


Hari ini, seperti hari jumat-jumat lainnya, yaitu baris berbaris yang kemudian diikuti dengan senam pagi - putri halim (iyah, nama senamnya Putri Halim), dan kemudian 'pelajaran' yang sudah dirancang di kurikulum tetap.

Jadi, tema hari ini adalah menempel kertas-kertas yang sudah digunting-gunting pada bola yang berbentuk telur.   Fungsinya adalah untuk membantu anak-anak agar berimajinasi (menempel-nempel dengan sesuka hati mereka), kemudian juga kepekaan indera mereka (anak-anak).

Evaluasi

Masih kayak cerita lama, anak-anaknya sih semangat, tapi 10 menit awal doang. Habis itu keliatan males, bahkan Agni jijik megang lem jadinya dia males nempel-nempel. Rrrrr. Tapi bagian yang menyebalkan adalah susah banget kasih pengertian ke ibu-ibunya, biar mau membiarkan anak-anaknya melakukan kreativitas sendiri-sendiri, tanpa bantuan ibu-ibunya.

Kebetulan banget, semalem saya baru menyelesaikan bacaan tentang metode pendidikan Montessori. Metode yang meningkatkan fungsi panca indera anak-anak umur 3-7 tahun, dimana seharusnya mereka (anak-anak) melakukan pekerjaan mereka secara mandiri tanpa bantuan orangtuanya. Karena, nanti akan berpengaruh pada dampak psikologis anak-anak itu, yang mampu menghasilkan anak yang tak mampu berkreasi dan tak percaya diri.

Makin kesini, tantangan sebagai ibu guru makin gede. Harus bisa memanajemen anak-anak sekaligus orangtuanya. Huks. Dan apalagi, pas ngulang baca buku 'Menuju Manusia Merdeka'-nya Ki Hadjar Dewantara, jadi makin beban. Hahaha, soalnya, ngerasa banget selama ini belum bisa jadi guru yang baik.

Yosssh! Ganbatte Kudasai!

catatan harian buguru #1

Karena kemungkinan ini adalah dua bulan terakhir saya mengajar di Sekolah Bermain Balon Hijau, huks. Maka, dengan senang hati saya akan menuliskan apa yang saya lakukan selama mengajar setiap harinya (senin-rabu-jumat).


Hari ini, adalah hari pertama triwulan baru Sekolah Bermain Balon Hijau, setelah bagi rapot sekitar dua minggu yang lalu. Betapa rindunya saya dengan anak-anak ini, yang selalu sukses buat saya berkurang rasa stressnya karena menjadi pengangguran.


Kebiasaan setelah liburan panjang (liburan kemarin, liburan kali kedua setelah bagi raport) adalah anak-anak harus beradaptasi lagi dengan lingkungannya. Jadi balik malu-malu lagi, lupa sama bu guru, dan lebih memilih untuk berada dekat ibunya. Jadinya, guru-guru harus kasih effort lebih biar anak-anak mau bergabung bersama.


Seperti biasa, guru-guru berjumlah kurang dari 10 orang, yaitu hanya 8 orang, yaitu saya, Ocha, Iin, Iid, Susan, Mega, dan Zahra, kemudian ada Ariza (bapak guru laki-laki). Kelas dimulai seperti biasa, dengan baris-berbaris di depan masjid. Baris-berbaris di pimpin oleh saya dan Iin, kemudian kami berdoa yang dilanjutkan dengan bernyanyi-nyanyi.


Senangnya, hari ini Jaziya berani maju ke depan, dan menyanyi dengan suara yang lebih keras, disusul dengan Adit dan Devina.


Setelah selesai baris-berbaris, kami masuk ke dalam masjid yang dipimpin oleh saya sebagai kepala kereta api (jadi di SBBH itu dibiasakan agar anak-anaknya mau berbaris dengan cara bermain kereta-kereta-api-an). Kelas dilanjutkan dengan menonton film Penguin Madagaskar, teman kelas hari ini masih tentang hewan, karena anak-anak diminta mereview apa saja yang mereka pelajari saat berkunjung ke kebun binatang beberapa waktu yang lalu.


Evaluasi


Hari ini, Iin sebagai centeng SBBH mengevaluasi kinerja para guru yang belum (bahkan tidak) baik dalam mengajar. Hufff, kami yang notabenenya lulusan jurusan sains dan teknik, memang sebenarnya belum (atau bahkan tidak) paham betul bagaimana seharusnya mengajar dengan baik-baik. Salah-salah, bukannya mendidik anak menjadi lebih baik, kami (mungkin) malah merusak jiwa anak-anak itu. Sedih juga sih, tapi ini tamparan yang keras buat saya buat belajar lebih baik lagi sebagai seorang pendidik, toh ini manfaat bagi juga sebagai calon ibu (#eaa).


Karena ini tahun ajaran baru, maka kami memulai kurikulum yang baru pula, sempat dibahas sistem internal dalam sekolah dan kurikulum yang baik itu seperti apa. Saya kebagian mengerjakan bagian calistung. Sebenernya saya masih ga rela, anak-anak didik saya disuruh menelan huruf-huruf dan angka-angka di umur yang masih kecil-kecilnya, apalagi nama kami itu Sekolah Bermain, jelas-jelas fungsinya bermain, bukan baca-tulis-hitung. Tapi apa daya, orangtua-orangtua murid-murid makin resah karena anaknya belum bisa membaca, dan kami diminta bantuan untuk mengajarkan mereka, agar kelak bisa diterima di Sekolah Dasar. Hufttt.


Doakan saya yah semoga berhasil!





top