Ibu

Setelah saya cari-cari di tiap post-ing-an blog, ternyata saya hampir tidak pernah menuliskan tentang ibu saya secara spesifik. Mungkin karena dulu saya sering sebal sama ibu, apalagi hobi kita berdua itu berantem terus, sampai akhirnya saya masuk asrama pas SMA, kemudian memutuskan untuk kuliah jauh dari keluarga, barulah terjalin 'cinta-kasih' antara anak dan ibu. Sebenarnya sekarang bukan kayak anak dan ibu juga sih, tapi lebih seperti antar sahabat.

Ibu saya itu orangnya sangat overprotected sekali. Mungkin karena anaknya cuman 2, wanita semua pula. Jadinya masih sering menganggap anak-anaknya ini kayak masih SD, padahal kami (saya dan adik saya) dua-duanya sudah berkuliah, bahkan saya sendiri sudah lulus, tapi masih sering diperlakukan seperti anak SD. Tidak boleh ke sini, tidak boleh kesitu.

Ibu saya itu tidak mengizinkan jajan sembarangan, hampir tiap hari dibawakan bekal, bahkan bapak saya hampir tiap hari pula, pulang kantor bawa roti, yang besoknya akan saya bawa ke sekolah sebagai bekal. Kadang-kadang juga ibu membawakan semacam nasi goreng atau mie goreng. Karena menurut dia, semua makanan-jajanan-murahan itu tidak sehat.

Kami selalu makan masakkan ibu, kecuali hari-hari tertentu dan ingin makanan tertentu baru kami diajak makan keluar bersama bapak. Karena itu lidah saya sudah terbiasa dengan makanan enak, karena (untungnya) ibu jago sekali masak, mungkin turunan dari nenek saya yang juga sangat jago masak. Kemungkinan besar, saya juga mendapatkan turunan tersebut, ehem.

Karena, ibu adalah full-time-mother, dia selalu ada di rumah, makanya ibu mengawasi tingkah-laku kami 24 jam dan yang berarti juga selalu ada buat kami. Dari kecil saya terbiasa belajar dengan ibu, baru menjelang kelas 3 SMP akhir saya ikut bimbingan-belajar karena memang beban pelajarannya meningkat.

Ibu itu orangnya gampang panikkan, panikkan-nya suka berlebihan. Pernah dia pergi liburan bersama teman-teman pengajiannya ke Pulau Tidung, terus naik semacam speedboat yang terbuat dari kayu kemudian berisi hingga 200 orang. Ibu (dan teman-temannya pula), memutuskan tidak mau keluar dari Pulau Tidung, kalo tidak naik speedboat yang lebih aman. Karena mereka takut tenggelam, akibat speedboatnya kepenuhan.

Tapi dengan segala kelebihan-dan-kekurangan yang ibu miliki, sebenarnya dia menyuruh saya jadi wanita karier yang punya penghasilan sendiri, karena dia ngerasa ada minus tersendiri jadi seorang wanita yang 'hanya' menjadi seorang ibu rumah tangga.

Dulu, saya memang pengen-banget-parah mau jadi wanita karier, sekelas Sri Mulyani, adeuh, cita-cita saya dulu kalo ga jadi rektor ITB, menteri peranana wanita dan perlindungan anak, atau menteri pendidikan. Tapi makin ke sini, akibat makin baca banyak buku, cita-cita saya mengkerucut menjadi istri yang shaleha dan ibu yang amanah, persis kayak ibu saya (insya Allah, aamiin). Hanya saja, cita-cita lain memiliki sekolah gratis sendiri dan perpustakaan, tetap harus terlaksana, aamiin, loh kok jadi ngomongin diri saya sendiri.

Pokoknya, saya nulis ini cuman mau menyatakan bahwa ibu saya adalah role-model saya sesungguhnya, sssst jangan bilang-bilang ke dia tapi yah, hahaha. Terlepas saya sungguh mengidolakan Aisyah r.a, Sri Mulyani, Susan Hockfield, dan wanita karir sukses lainnya. Dari dalam hati saya yang paling dalam, saya pengen jadi ibu rumah tangga yang selalu ada buat anak-anak dan suaminya. Aamiin.

Terimakasih Ibu, untuk inspirasinya :)

0 komentar:

top