bergiliran, bergiliran!

Aku mengunjungi daerah Dodoma di Tanzania pada puncak kekeringan parah. Tidak setetes pun hujan turun selama delapan bulan terakhir, dan tak tampak sehelai rumput pun sejauh mata memdang. Ladang jagung, seperti yang lainnya, layu dan kering. Tanah terasa kering dan kasar berbutir-butir, bahkan pada kedalaman dua puluh sentimeter, debu terus berterbangan terbawa angin. Tak ada kelembapan dimana pun.

Seorang perempuan yang ramah menawariku air dalam panci kecil untuk mencuci tangan. Air itu berlumpur dan kelihatan seperti cafe au lait. Aku bertanya darimana ia mendapatkan air itu.

“Dari sumur dibelakang sana,” jawabnya.

Aku berjalan mengitari halaman belakang rumah untuk melihat, tapi tak menemukan sumur di sana.

”Kau bilang sumurnya ada di belakang. . .” ujarku.

“Kira-kira 4,8 kilometer di belakang sana” jelasnya.

Aku tercengang. Ia memberiku air yang sangat berharga sekalipun berlumpur, yang dibawa sejauh 4,8 kilometer.

Pemanduku, perempuan anggota Parlemen Nasional di Dodoma, berkata padaku, “Perjalanan 4,8 kilometer tidak terlalu jauh. Sebagian orang harus berjalan 14-16 kilometer. Mereka beruntung bisa mendapatkan air, kalau tidak mereka tidak akan bertahan hidup."

Sekumpulan anak yang membawa periuk-periuk air di atas kepala , dengan latar belakang dataran luas dan kering, mungkin bias menjadi foto yang sangat memesona. Tapi mengambil air adalah pekerjaan sulit, dan yang harus mengerjakan itu semua adalah anak-anak kecil. Mereka harus berjalan 4,8 kilometer jika sumbernya “dekat”, dan sejauh 9,6 kilometer, jika sumber air tidak dekat. Pencarian air biasanya akan membawa mereka melintasi tanah gersang menuju anak sungai atau sumur masyarakat.

Anak-anak itu benar-benar bekerja sangat keras. Mereka mengambil air, mengumpulkan kayu bakar, dan menjaga adik-adik. Sekolah dasar memang diwajibkan, tapi banyak anak yang tidak bias bersekolah karena terlalu banyak pekerjaan yang harus mereka lakukan dirumah.

Tak lama setelah aku meninggalkan daerah Dodoma. Mobil kami mulai terguncang-guncang. Sopir menjelaskan bahwa jalan yang kami lalui adalah dataran kering yang dulunya merupakan badan sungai besar. Ketika kami menyusuri liku-likunya, tanpa setitik air pun terlihat, daerah itu seakan jadi dataran terlarang.

Aku turun dari mobil di suatu lokasi, tempat beberapa anak sedang menggali untuk mencari air. Sumur begitu jauh sehingga mereka kehausan ditengah perjalanan menuju kesana, hanya ini yang bias mereka lakukan. Anak – anak itu menunjukan padaku cara menggali lubang dengan tangan mereka di badan sungai yang mengering, kira-kira dalam nya tigapuluh sentimeter dan lebarnya empat puluh sentimeter. Setelah beberapa saat, tunggu dan lihatlah, dasar lubang mulai basah. Kau harus menunggu dengan sabar sementara dasar lubang perlahan-lahan dipenuhi air. Sekitar sepuluh menit kemudian ada cukup air untuk mengisi dua mangkuk kecil. Dengan keterampilan terlatih, yang pertama kali dilakukan anak adalah menyendoki debu dan kotoran dari permukaan air. Namun tetap saja, setengah airnya adalah lumpur. Yang membuatku kagum adalah cara anak-anak itu menjalankan aturan untuk membiarkan anak yang lebih kecil minum lebih dulu. “Bergiliran, bergiliran!” kata anak-anak yang lebih besar. Aku terharu melihat kebaikan hati mereka ditengah kondisi tidak menyenangkan ini. Anak anak itu menengguk air dengan semangat.

Di Jepang, kami menganggap remeh air yang mengalir deras dari keran. Aku takpernah berhenti berpikir betapa beruntungnya kami. Dipenuhi rasa malu karena ketidak pedulianku, aku memperhatikan tingkah anak-anak baik ini, yang secara bergiliran meminum air berlumpur yang telah digali dengan tangan mereka sendiri

oleh : Tetsuko Kuroyanagi
dalam Totto-chan's Children

0 komentar:

top